Dalam tradisi Indonesia, sering kita dengar praktik penambahan nama suami pada nama perempuan. Biasanya, nama orang laki-laki yang ditambahkan di belakang nama perempuan tersebut adalah nama ayah atau suami perempuannya. Namun, muncul pandangan dari beberapa tokoh agama yang mengharamkan praktik ini berdasarkan hadits yang menyatakan bahwa menyalahgunakan nama ayah atau keturunan adalah perbuatan yang terlarang.

Pemahaman atas dua hadits tersebut membutuhkan penelusuran lebih dalam. Tidak semua orang yang menambahkan nama orang lain di belakang namanya dapat disamakan dengan kasus dalam hadits tersebut. Ali Mustafa Yaqub mengutip pendapat Ibnu Hajar Al-Asqalani yang menekankan pentingnya memahami konteks dan alasan di balik hadits-hadits tersebut.

Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan bahwa larangan menambahkan nama suami bukanlah untuk semua kasus, melainkan khusus bagi orang yang mengklaim keturunan orang lain sebagai ayahnya. Hal ini dilarang karena dapat menimbulkan kesan bohong atas penciptaan oleh Allah.

Dalam konteks budaya Jahiliyah, ada praktik adopsi anak yang kemudian anak tersebut disandarkan kepada orang yang mengadopsinya. Hal ini ingin dicegah oleh hadits tersebut, bukan sekadar penambahan nama suami pada nama istri. Bahkan, Nabi Muhammad SAW sendiri pernah mengalami hal serupa dengan Zaid bin Harithah yang dipanggil Zaid bin Muhammad sebelum ditegaskan identitasnya.

Meski demikian, ada pengecualian seperti kasus Miqdad bin Al-Aswad yang dipanggil dengan nama bapak angkatnya. Hal ini diperbolehkan karena tujuannya bukan untuk klaim keturunan, melainkan untuk identifikasi.

Penambahan nama suami pada nama istri sebenarnya diperbolehkan dalam Islam karena tujuannya adalah untuk identifikasi lebih spesifik, bukan untuk klaim keturunan. Dengan demikian, praktik ini dapat dipahami dalam konteks ta’aruf dan bukan nasab. Semoga tulisan ini dapat memberikan pemahaman lebih dalam terkait isu ini.