Pada suatu praktik shalat tarawih super kilat yang dilaksanakan di salah satu pondok pesantren di Kabupaten Blitar, Jawa Timur, menjadi sorotan media yang mengundang keprihatinan. Praktik tersebut disorot karena dianggap mengabaikan substansi dari tarawih itu sendiri.
Dalam tradisi shalat tarawih yang dicontohkan oleh salafus shalih, para jamaah biasanya mengambil jeda setiap empat rakaat untuk beristirahat. Jeda tersebut diisi dengan berbagai kegiatan, seperti shalat dan membaca al-Quran. Hal ini sejalan dengan tradisi Qiyamul Lail yang dipraktikkan oleh Nabi dan para sahabat.
Tujuan utama dari shalat adalah untuk mengingat Allah SWT. Oleh karena itu, shalat yang baik seharusnya dilakukan dengan penuh ketenangan dan tidak terburu-buru, apalagi dilakukan dengan gerakan super kilat.
Dalam hadits, disebutkan bahwa shalat harus dilakukan dengan tenang, merendahkan diri, mendekatkan diri kepada Allah, meratap, menyesali dosa-dosa, dan mengucapkan doa kepada-Nya. Ketidaktertiban dan kekurangtenangan dalam shalat bisa mengurangi nilai spiritual dari ibadah tersebut.
Praktik tarawih super kilat yang tidak memperhatikan aspek ketenangan dan makna dari tarawih sendiri sebaiknya mendapat perhatian serius. Penting bagi PWNU Jawa Timur untuk mendekati pengasuh pondok pesantren terkait agar nilai-nilai spiritual dalam ibadah tetap terjaga.
Tarawih merupakan anugerah Allah yang harus dimanfaatkan secara optimal dan dengan penuh kekhusyukan. Semoga praktik-praktik ibadah kita selalu diberkahi-Nya tanpa mengurangi esensi dari ibadah tersebut.