Di Nusantara, Islam dikenal sebagai agama yang penuh dengan keramahan dan kesantunan. Masyarakat di wilayah ini terbiasa untuk bersikap ramah terhadap siapapun tanpa memandang perbedaan agama, suku, atau ras. Salah satu tradisi yang telah menjadi bagian dari budaya masyarakat Nusantara adalah berdiri ketika ada tamu yang datang.
Tamu yang dimaksud bisa berupa ulama, pejabat, orang tua, teman, atau kerabat dekat. Tindakan berdiri tersebut bukanlah untuk tujuan menyembah atau merendahkan diri, melainkan sebagai bentuk penghormatan dan sambutan atas kedatangan tamu. Tradisi ini tidak hanya berlaku di Nusantara, tetapi juga ditemukan di banyak daerah lain. Bahkan, tradisi ini telah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW.
Imam An-Nawawi dalam Fatawa-nya menyatakan bahwa berdiri untuk menghormati tamu agung atau orang yang layak dihormati merupakan perbuatan mulia. Pandangan ini didukung oleh banyak hadits shahih yang menunjukkan anjuran untuk berdiri saat kedatangan tamu terhormat.
Sebagai contoh, kisah Sa’id Ibn Mu’adz yang datang kepada Nabi Muhammad SAW setelah menyelesaikan suatu perkara di Bani Quraizhah. Nabi Muhammad SAW memerintahkan kaum Ansor untuk berdiri sebagai tanda penghormatan, “Qumu li sayyidikum (berdirilah karena kedatangan tuanmu)”.
Berdiri saat kedatangan tamu bukan hanya sekedar tindakan sopan santun, melainkan juga sebagai bentuk penghargaan dan kehormatan terhadap tamu. Hal ini menjadikan tradisi berdiri untuk menyambut tamu sebagai bagian dari upaya untuk menghormati dan memuliakan setiap individu yang datang ke dalam kehidupan kita.