Pada artikel ini, kita akan membahas tentang hukuman bagi para begal menurut perspektif fiqih. Begal, yang didefinisikan sebagai sekelompok orang yang saling tolong-menolong dalam melakukan tindakan kriminal seperti merampas harta benda dan bahkan membunuh, merupakan ancaman serius bagi masyarakat.
Menurut at-Tadzhib fi adillati matnil ghayah wat taqrib, keberadaan begal yang mengganggu ketentraman umat tidak dapat dimaafkan. Ayat al-Qur’an dalam al-Maidah 33 menjelaskan hukuman bagi para begal yang membuat kerusakan di muka bumi, termasuk di antaranya adalah hukuman mati, disalib, atau potong tangan dan kaki.
Ibnu Abbas dan ulama lainnya menjelaskan bahwa perusakan yang dilakukan oleh para begal mencakup perampokan, pembunuhan, dan tindakan yang merusak ketentraman masyarakat. Bahkan, koruptor dan pelaku kejahatan ekonomi termasuk dalam kategori perampok dan begal karena merugikan negara dan masyarakat.
Dalam penerapan hukuman bagi para begal, ulama fiqih mengklasifikasikan begal menjadi empat bagian sesuai dengan kejahatan yang dilakukan. Mulai dari hukuman mati, disalib, potong tangan dan kaki, hingga hukuman penjara untuk begal yang hanya menakut-nakuti tanpa melakukan kekerasan fisik.
Meskipun terdapat hukuman yang tegas bagi para begal dalam pandangan fiqih, penting untuk diingat bahwa cara pembalasan haruslah sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan. Di Indonesia, hukuman seperti pembakaran tidak diperbolehkan dan hanya berlaku secara teoritis karena adanya undang-undang yang mengatur tata kehidupan berbangsa demi kemaslahatan bersama.
Pemimpin (pemerintah) memiliki tanggung jawab untuk menjaga kemaslahatan rakyat dengan mengatur kebijakan yang sesuai dengan prinsip-prinsip fiqih. Hal ini menunjukkan pentingnya menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan dalam menegakkan hukum terhadap para pelaku kejahatan seperti begal.