Bid’ah, sebuah topik yang masih menjadi perdebatan hingga saat ini, baik dalam teori maupun praktiknya. Beberapa orang menganggap bid’ah sebagai suatu kesalahan yang perlu diperbaiki, sementara yang lain melihatnya sebagai bentuk kreativitas yang diperbolehkan selama tidak melanggar ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Dalam bukunya “Taudhihul Adillah” jilid tiga, Muallim Syafi’i Hadzami, ulama Betawi, menjelaskan secara detail tentang bid’ah. Ia memulai tulisannya dengan mengutip kata-kata As-Syatibi dalam kitabnya al-I’tisham, yang menjelaskan bahwa kata “bada’a” pada awalnya merujuk pada menciptakan sesuatu tanpa contoh sebelumnya. Misalnya, dalam firman Allah tentang “بديع السموات والأرض” (Allah menciptakan langit dan bumi) yang berarti Allah menciptakan keduanya tanpa contoh sebelumnya.
Muallim Syafi’i Hadzami menjelaskan bahwa bid’ah adalah hasil karya yang dapat dikenai hukum, bukan hukum itu sendiri. Menurutnya, dalam syariat Islam, hanya ada lima hukum: wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah. Bid’ah tidak termasuk di dalamnya. Bid’ah dianggap sebagai amalan tanpa dasar syariat.
Dalam istilahnya, Muallim Syafi’i Hadzami menjelaskan bahwa bid’ah adalah amalan tanpa dalil syariat. Bid’ah sering dibandingkan dengan sunnah, yang memiliki dalil syarinya.
Muallim Syafi’i Hadzami mengklasifikasikan bid’ah menjadi dua jenis: bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Yang terpuji adalah yang sesuai dengan sunnah, sementara yang tercela adalah yang bertentangan dengan sunnah.
Dalam menjelaskan lebih lanjut tentang bid’ah, Muallim Syafi’i Hadzami merujuk pada pendapat Al-Baihaqi. Menurut Al-Baihaqi, ada dua jenis perbuatan baru: perbuatan baru yang sesat (karena melanggar kitab, sunnah, atau kesepakatan umat Islam) dan perbuatan baru yang baik (yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam).
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pemahaman tentang bid’ah tidaklah hitam-putih. Tidak semua hal baru dianggap sesat, mengingat banyak hal baru yang baik yang tidak ada pada zaman Rasulullah saw.
Bid’ah dapat diklasifikasikan sebagai sesuatu yang melanggar Al-Qur’an dan As-Sunnah atau sebagai suatu pekerjaan tanpa dasar nash namun dibiarkan oleh syariat. Hadits yang menyatakan “كل بدعة ضلالة وكل ضلالة فى النار” (setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan masuk neraka) dapat diterapkan pada makna bid’ah yang pertama.
Pendapat-pendapat Muallim Syafi’i Hadzami ini memberikan wawasan mendalam tentang arti bid’ah dalam Islam. Pengetahuan agama yang luas dan sikap rendah hati beliau dalam merujuk pada para ulama merupakan contoh kebijaksanaan dan keilmuan yang patut dicontoh.