Dalam praktik keagamaan umat Islam, pemilihan seorang imam dalam shalat memiliki peran yang sangat vital. Banyak orang mengibaratkan seorang imam dengan seorang supir, yang memimpin jama’ah dalam perjalanan ibadah shalat. Seorang imam dipilih berdasarkan berbagai kriteria, seperti usia, keilmuan, dan ketakwaan. Takmir masjid seringkali melakukan musyawarah dan penilaian ketat untuk menentukan imam yang tepat.
Namun, dalam situasi di mana tidak ada pilihan lain, syarat utama untuk menjadi imam adalah menjadi seorang lelaki. Namun, bagaimana jika lelaki tersebut adalah seorang fasiq? Meskipun bisa diterima, hukumnya tetap menjadi makruh. Dalam Fathul Mu’in pada Hamisy I’anatut Thalibin disebutkan bahwa mengikuti orang fasik dan ahli bid’ah dihukumi makruh.
Hal ini dikarenakan filosofi bahwa imam adalah pemimpin rombongan yang membawa jama’ah menuju Allah. Meskipun terkadang imam hanya berperan sebagai sopir yang hanya mengerti teknik operasional kendaraan. Yang sebenarnya mengarahkan adalah pemandu yang berpengalaman dan mengerti jalur. Pemandu ini tidak harus menjadi imam, melainkan bisa siapa saja dalam jama’ah. Inilah salah satu kelebihan shalat berjama’ah.
Shalat sendiri ibarat perjalanan seorang diri yang membutuhkan konsentrasi tinggi agar sampai pada tujuan. Namun, berjama’ah seperti berjalan bersama rombongan, di mana sebagian jama’ah mengetahui arah dan tujuan dengan jeta. Sehingga, imam yang berkualitas akan membawa jama’ah menuju arah yang benar.
Sebaiknya, seorang imam tidak hanya memiliki ketrampilan praktis tetapi juga pengalaman dalam memimpin perjalanan ibadah. Seperti yang disebutkan dalam hadits bahwa imam yang baik adalah delegasi antara jama’ah dan Tuhan.
Oleh karena itu, dalam pemilihan imam dalam shalat, kita sebaiknya mengikuti anjuran Rasulullah untuk memilih orang-orang terbaik sebagai imam, agar ibadah kita diterima dengan baik.