Iman bukanlah sekadar ungkapan di lisan, namun sebuah keyakinan yang tertanam dalam hati, dibuktikan melalui tindakan nyata. Hati yang meyakini, lisan yang mengucapkan, dan raga yang bergerak, ketiganya harus sejalan. Memadukan ketiganya bukanlah hal yang mudah; seringkali terjadi ketidaksesuaian antara hati, lisan, dan raga.
Seorang yang beriman tidak hanya cukup dengan mengucapkannya, namun juga harus terbukti melalui perilaku dan gerak badan. Yang paling penting adalah keyakinan yang kuat dalam hati. Namun, terkadang meskipun lisan dan badan telah sejalan, hati masih meragukan. Hal ini menjelaskan konsep bahwa iman terkadang kuat, terkadang lemah; terkadang mantap, terkadang ragu.
Setiap orang yang beriman percaya akan kekuasaan Allah Swt yang tiada tanding. Namun, keimanan ini seringkali goyah dihadapkan pada kepercayaan takhayul yang telah mendarah daging di masyarakat. Contohnya, keraguan seseorang karena mitos seperti musibah bagi yang menabrak kucing dapat mengganggu keimanan.
Meskipun percaya pada firasat semacam itu bukanlah musyrik, namun sebaiknya perasaan tersebut segera dihilangkan karena dapat merusak iman. Rasulullah saw memberikan solusi dengan menguatkan keyakinan kepada Allah Swt ketika merasa terkena sial. Demikianlah cara beliau menangani tradisi takhayul dalam masyarakat Arab.
Firasat buruk yang muncul sebagai reaksi alami terhadap kejadian tertentu adalah hal manusiawi. Tidak serta merta menjadikan seseorang musyrik, namun bisa mempengaruhi tingkat iman seseorang.