Pada Musyawarah Nasional Alim Ulama yang diselenggarakan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama pada November 2014, salah satu materi yang dibahas adalah hukum aborsi. Hal ini terkait dengan polemik legalisasi aborsi yang muncul beberapa bulan sebelumnya.
Peraturan Pemerintah (PP) No. 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi menuai beragam reaksi karena memuat ketentuan terkait aborsi dalam situasi darurat medis atau akibat perkosaan. PP ini sebenarnya bertujuan untuk memberikan layanan kesehatan kepada perempuan agar dapat hidup sehat, melahirkan generasi yang sehat, serta mengurangi angka kematian ibu.
Pelayanan kesehatan reproduksi termasuk pelayanan bagi remaja hingga pasca melahirkan diatur dalam PP tersebut. Namun, terdapat 9 pasal yang mengatur aborsi dalam situasi darurat medis atau pemerkosaan, dengan batas waktu maksimal 40 hari sejak Hari Pertama Haid Terakhir.
Dalam Pasal 31-38 dijelaskan prosedur penentuan dan pelaksanaan aborsi, termasuk persetujuan perempuan hamil dan konseling sebelum dan sesudah aborsi. Meskipun tujuannya adalah memberikan hak kesehatan bagi perempuan, beberapa pihak mempersoalkan PP tersebut karena dianggap melegalkan aborsi, yang dianggap melanggar kode etik kedokteran.
Menurut UU Perlindungan Anak No. 23/2002, aborsi dianggap bertentangan karena anak yang masih dalam kandungan juga harus dilindungi. Beberapa ulama memperbolehkan aborsi dalam kasus darurat medis, namun mengharamkan aborsi akibat perkosaan. Dokter yang melakukan aborsi harus mematuhi sumpah jabatan dan kode etik profesi dokter.
Dari hasil Keputusan Komisi Bahtsul Masail Diniyah Musyawarah Nasional Alim Ulama NU 2014, dapat disimpulkan bahwa aborsi hanya diperbolehkan dalam keadaan darurat yang dapat membahayakan ibu dan/atau janin, dengan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi.