Ibadah haji merupakan ibadah yang memerlukan biaya, sarana transportasi, dan kesiapan fisik. Haji sendiri merupakan ibadah fisik dan harta yang diberikan oleh Allah swt. sesuai dengan kemampuan hamba-Nya. Karenanya, kewajiban haji sebagai rukun Islam kelima hanya ditujukan kepada kaum muslimin yang mampu melaksanakannya.
Berbeda dengan ibadah lainnya, haji hanya dapat dilakukan di Tanah Suci. Thawaf harus dilakukan mengelilingi Ka’bah, Sa’i dilakukan dari bukit Shofa dan Marwah, serta Wukuf dilaksanakan di padang Arafah.
Dalam prinsipnya sebagai ibadah badaniyah, haji harus dilakukan secara langsung oleh individu yang bersangkutan. Namun, dalam kondisi tertentu seperti sakit kronis yang tidak memungkinkan kesembuhan, haji dapat diwakilkan kepada orang lain. Hal ini juga berlaku bagi individu yang meninggal dunia sebelum sempat menjalankan ibadah haji meskipun sudah mampu melakukannya.
Para ulama mengklasifikasikan kemampuan (istita’ah) untuk menjalankan haji menjadi dua, yaitu istita’ah binafsih (mampu menjalankannya sendiri) dan istita’ah bi ghairih (mampu melalui wakil). Seseorang dianggap memiliki istita’ah bi ghairih jika memiliki cukup uang untuk membayar orang lain menjalankan haji atas namanya.
Transaksi antara orang yang mewakilkan dan wakil termasuk dalam akad ijarah. Tidak ada batasan pasti mengenai besaran upah yang harus diberikan, namun yang terpenting adalah kesepakatan antara keduanya. Orang yang menjadi wakil harus memiliki kompetensi untuk melaksanakan haji, seperti menjadi seorang muslim yang baligh dan berakal. Pemilihan wakil yang dapat dipercaya sangat dianjurkan agar terhindar dari masalah yang tidak diinginkan.
Dengan demikian, melaksanakan ibadah haji adalah kewajiban bagi umat Islam yang mampu melakukannya, namun dalam kondisi tertentu, haji dapat diwakilkan kepada orang lain yang memiliki kompetensi untuk melaksanakannya.
