Parkir telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat perkotaan. Di setiap sudut kota, kita selalu menemui tempat parkir, mulai dari warung makan, mini market, hingga gerai ATM. Tidak ada lagi parkir gratis, semua memiliki biaya tersendiri. Dalam idealnya, pengelola parkir seharusnya bertanggung jawab penuh terhadap kendaraan yang dititipkan kepada mereka.
Namun, seringkali pengelola parkir cenderung enggan untuk bertanggung jawab sepenuhnya. Mereka lebih memilih untuk melepaskan tanggung jawab jika terjadi kerusakan atau kehilangan pada kendaraan yang diparkir di tempat mereka. Hal ini tercermin dalam tulisan yang biasa kita temui, yang menyatakan bahwa pengelola tidak bertanggung jawab atas kerusakan atau kehilangan kendaraan.
Dari sudut pandang fiqih, parkir dapat dikategorikan sebagai masalah wadiah atau titipan. Konsep wadiah mengandaikan adanya dua fihak, yaitu pemilik barang yang menitipkan kendaraannya dan penerima titipan yang bertanggung jawab menjaga amanah tersebut. Dalam prinsipnya, wadiah tidak dapat terjadi jika pihak kedua menolak untuk menerima titipan. Namun, syariat memberikan pahala bagi orang-orang amanah yang mau menerima titipan.
Dengan demikian, dalam sistem wadiah fiqih, pihak yang menitipkan barang memiliki kepentingan terbesar sementara penerima titipan hanya bertanggung jawab menjaga barang tersebut. Penerima titipan tidak akan menanggung resiko kecuali karena kelalaiannya. Namun, jika kerusakan atau kehilangan terjadi akibat kelalaiannya, maka ia wajib mengganti titipan tersebut.
Dalam konteks perparkiran, pengelola parkir seharusnya mempersiapkan diri sebagai orang yang amanah dan bertanggung jawab sepenuhnya. Mereka harus menjaga kendaraan dengan baik dan menyediakan sistem keamanan yang memadai mulai dari pendataan hingga pengembalian kendaraan kepada pemiliknya. Dengan demikian, tidak akan ada lagi klaim bahwa pengelola parkir tidak bertanggung jawab atas kerusakan atau kehilangan kendaraan.