Pada dasarnya, segala macam muamalah dibolehkan kecuali ada dalil yang melarangnya. Dalam konteks pacaran, hal ini juga berlaku. Pacaran sebagai bentuk sosialisasi diperbolehkan selama tidak mengarah pada tindakan yang jelas-jelas dilarang oleh syara’, yaitu pacaran yang dapat mendekatkan para pelakunya pada perzinahan. Sebagaimana dijelaskan dalam surat Al-Isra’ ayat 32:
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”
Ayat ini sejalan dengan hadits Rasulullah saw yang memberikan panduan mengenai hubungan antara laki-laki dan perempuan yang terlarang, guna menghindarkan seseorang terjerumus dalam perzinahan. Pada umumnya, perzinahan bermula dari situasi berduaan.
Dasar hukum dilarangnya pacaran adalah jika maksudnya adalah pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan yang hanya bersenang-senang. Namun, jika pacaran dimaksudkan sebagai upaya saling mengenal untuk menjajaki kemungkinan menjalin pernikahan, maka hal ini diperbolehkan. Ini sejalan dengan anjuran Rasulullah saw untuk menikah sebagai solusi menghindari perzinahan.
Rasulullah saw juga menjelaskan pentingnya menikah dalam haditsnya:
“Hai sekalian pemuda, barang siapa di antara kamu yang telah sanggup melaksanakan akad nikah, hendaklah melaksanakannya. Maka sesungguhnya melakukan akad nikah itu (dapat) menjaga pandangan dan memelihara farj (kemaluan), dan barangsiapa yang belum sanggup hendaklah ia berpuasa (sunat), maka sesungguhnya puasa itu perisai baginya.”
Dalam konteks ini, Rasulullah saw menegaskan bahwa menikah adalah bagian dari sunnah. Siapa pun yang tidak mengikuti sunnahnya akan diancam sebagai bukan termasuk golongannya.
Kedua hadits ini menunjukkan betapa pentingnya pernikahan dalam Islam. Oleh karena itu, pacaran yang dimaknai sebagai khitbah atau melamar dalam rangka mencari kesepahaman untuk menuju jenjang pernikahan diperbolehkan. Kesempatan seorang muslim untuk melihat wajah dan telapak tangan perempuan yang bukan muhrim hanya diizinkan dalam momen khitbah.
Dalam kajian mengenai pandangan laki-laki terhadap wanita, diperbolehkan memandang wajah dan telapak tangan perempuan dengan tujuan menikahi. Sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah saw, penting bagi seorang laki-laki untuk melakukan perkenalan meskipun dalam waktu singkat, seperti yang dilakukan oleh Al-Mughirah bin Syu’bah ketika meminang seorang perempuan, di mana Rasulullah berkomentar:
“Lihatlah dia (wanita itu), sesungguhnya melihat itu lebih pantas dilakukan untuk dijadikan lauknya cinta untuk kalian berdua.”
Oleh karena itu, semua bentuk pacaran tidak dapat dibenarkan kecuali jika pacaran tersebut bermakna khitbah, yang hanya membolehkan seorang lelaki memandang wajah dan telapak tangan perempuan, tidak lebih dari itu. Ini artinya, tidak melebihi saat khitbah dan tidak melebihi dari sekadar memandang.