Hukum wajib adalah perbuatan yang, jika dikerjakan, akan mendatangkan pahala, dan jika ditinggalkan, akan berujung pada siksa. Hukum wajib dapat dibagi menjadi empat sudut pandang: pertama, dari segi waktu pengerjaan; kedua, dari segi takaran; ketiga, dari segi subyek pelaku; dan keempat, dari segi penentuan obyeknya.
Dari sudut pandang waktu pengerjaan, hukum wajib dibagi menjadi wajib mutlak dan wajib mu’aqqat. Wajib mutlak adalah kewajiban yang tidak memiliki batas waktu tertentu. Sifat pengerjaannya bersifat mutlak, artinya dapat dilakukan kapan saja. Contohnya, seseorang yang telah bersumpah dan melanggarnya wajib melaksanakan denda (kafarah) sumpah tersebut tanpa batasan waktu.
Sementara itu, wajib mu’aqqat adalah kewajiban yang memiliki waktu tertentu, seperti shalat lima waktu. Pengerjaan shalat tidak sah jika dilakukan sebelum waktunya tiba. Wajib mu’aqqat ini terbagi menjadi dua kategori: muwassa’ dan mudhayyaq.
Wajib muwassa’ adalah kewajiban yang waktu pelaksanaannya dapat digunakan untuk melaksanakan kewajiban tersebut beserta kewajiban lainnya. Contohnya adalah shalat zhuhur di mana selama waktu zhuhur, kita diperbolehkan untuk mengerjakan shalat zhuhur atau shalat lainnya.
Di sisi lain, wajib mudhayyaq adalah kewajiban yang pelaksanaannya hanya boleh dilakukan dalam waktu tertentu untuk kewajiban itu saja. Misalnya, ketika waktu zhuhur hanya tersisa beberapa menit yang cukup untuk mengerjakan shalat zhuhur, maka hanya shalat zhuhur yang boleh dilaksanakan. Contoh lain adalah puasa di bulan Ramadhan, di mana hanya puasa Ramadhan yang diperbolehkan.
Dari sudut pandang takarannya, hukum wajib terbagi menjadi wajib muhaddad dan ghairu muhaddad. Wajib muhaddad adalah kewajiban yang pelaksanaannya harus sesuai dengan takaran yang telah ditentukan syariat, seperti shalat wajib lima kali sehari semalam. Sedangkan wajib ghairu muhaddad adalah kewajiban yang tidak memiliki takaran pasti menurut syariat, misalnya seseorang yang bernazar untuk bersedekah kepada orang fakir tanpa batasan jumlah.
Dari sudut pandang subyek pelaku, hukum wajib dibagi menjadi wajib ‘ain dan wajib kifayah. Wajib ‘ain atau fardlu ‘ain adalah kewajiban yang dituntut untuk dilaksanakan oleh setiap individu, seperti shalat lima waktu yang wajib bagi setiap Muslim. Wajib kifayah atau fardhu kifayah adalah kewajiban yang dapat dilaksanakan oleh siapapun tanpa memandang siapa pelakunya. Contohnya adalah profesi dokter dalam sebuah komunitas. Ketika sudah ada seseorang yang berprofesi sebagai dokter, maka kewajiban tersebut hilang bagi yang lainnya.
Terakhir, dari sudut pandang penentuan obyeknya, hukum wajib terbagi menjadi mu’ayyan dan mukhayyar atau mubham. Wajib mu’ayyan adalah kewajiban yang telah ditentukan kualitas dan kuantitasnya oleh syariat, seperti zakat dengan nishab dan prosentase tertentu. Sedangkan wajib mukhayyar atau mubham adalah kewajiban di mana syariat memberikan pilihan kepada pelaku untuk memilih cara pelaksanaan. Contohnya adalah denda (kafarah) terkait hubungan suami istri di siang hari bulan Ramadhan, di mana syariat memberikan pilihan antara membebaskan budak, berpuasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang fakir miskin. Wallahu a’lam.