Ilmu hikmah merupakan salah satu pengetahuan yang hadir bersamaan dengan kelahiran Islam. Banyak hadits Rasulullah SAW yang menunjukkan pentingnya ilmu hikmah, mengingat kompleksitas kehidupan manusia yang seringkali membutuhkan solusi yang beragam.
Salah satu contoh yang mencolok dapat dilihat dalam asbabun nuzul dari surat mu’awwidztatin (Qul a’udzu birabbil falaq dan Qul a’udzu birabbin nas), yang dibaca oleh Rasulullah SAW saat beliau terkena sihir dari seorang Yahudi. Dalam kitab Lubabun Nuqul fi Asbabin Nuzul, Imam Suyuthi menjelaskan bahwa Rasulullah SAW sempat mengalami sakit parah, sehingga dua malaikat mendatanginya dan memberi tahu para sahabat bahwa Labid bin al-A’sham al-Yahudi telah mengirim sihir tersebut. Sihir itu berupa gulungan tali yang disimpan di bawah batu besar dalam sebuah sumur.
Para sahabat segera mengambil gulungan tersebut dari sumur tua yang ternyata airnya berwarna merah pacar. Mereka mengambil gulungan itu setelah terlebih dahulu mengangkat batu yang menutupinya. Benar saja, tali yang bergulung tersebut tidak dapat diurai simpulnya kecuali setelah Rasulullah SAW membaca surat mu’awwidztatin. Setelah tali itu terurai, sakit yang diderita Rasulullah SAW mendadak hilang. Tentunya, hal ini tidak terlepas dari kekuasaan Allah SWT, namun kekuasaan-Nya itu dihadirkan oleh Rasulullah SAW melalui bacaan mu’awwidztatin.
Ilmu hikmah memiliki banyak ragam. Selain diucapkan, sebagaimana ayat-ayat Al-Qur’an, hizib, dan doa lainnya, terdapat juga yang dituliskan sebagai azimat. Hal ini pernah ditanyakan oleh seorang sahabat kepada Rasulullah SAW. Secara khusus, Imam Malik dalam kitab at-Tibyan fi Adabi Hamlatil Qur’an menjelaskan bahwa:
وأما كتابة الحروف من القرأن فقال مالك لا بأس به إذا كان فى قصبة أو جلد وخرز عليه وقال بعض أصحابنا اذا كتب فى الخرز قرأنا مع غيره فليس بحرام ولكن الأولى تركه لكونه يحمل على الحدث واذا كتب يصان بما قاله الامام مالك رحمه الله.
Menulis huruf-huruf Al-Qur’an tidak dilarang (tidak diharamkan) selama diletakkan dalam botol atau dibungkus dengan kulit. Sebagian ulama berpendapat bahwa tidak dilarang menuliskan Al-Qur’an bersamaan dengan yang lain sebagai sebuah azimat, tetapi lebih baik dihindari karena dapat terbawa ketika hadats. Kecuali jika dapat dijaga dan tidak disia-siakan, sebagaimana dikatakan oleh Imam Malik.
Jika menuliskan huruf-huruf Al-Qur’an sebagai azimat diperbolehkan dengan syarat tetap menjaga kehormatannya, maka penggunaan azimat itu sendiri pastilah tidak dilarang.