Setiap jabatan penting selalu menarik perhatian orang banyak, mulai dari Presiden hingga kepala daerah, serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan jabatan-jabatan strategis lainnya. Banyak individu yang mencalonkan diri dan siap bersaing untuk meraih posisi-posisi tersebut. Namun, ambisi yang besar ini sering kali tidak sebanding dengan keseriusan untuk menjalankan tugas jika terpilih. Rekam jejak para calon menunjukkan bahwa banyak di antara mereka tidak memiliki niat yang tulus untuk menggunakan jabatan tersebut demi kepentingan rakyat.
Proses pencalonan tidak terlepas dari keterlibatan berbagai pihak, termasuk mereka yang mencalonkan, mendukung, dan memilih. Sungguh memprihatinkan ketika semakin sulit menemukan calon yang benar-benar menyadari bahwa jabatan adalah amanah untuk kepentingan publik. Hal ini menjadi perhatian serius ketika di antara calon terdapat individu yang sebelumnya gagal dalam menjalankan tugas mereka, bahkan terindikasi cenderung menyelewengkan jabatan demi kepentingan pribadi, termasuk praktik korupsi.
Dalam konteks fiqih, muncul dua pertanyaan penting. Pertama, bagaimana hukum bagi seseorang yang mencalonkan diri untuk suatu jabatan, jika ia terbukti gagal dalam menjalankan tugas sebelumnya, sering mengabaikan kepentingan rakyat, menjadikan jabatan untuk kepentingan pribadi, atau terlibat dalam korupsi? Kedua, bagaimana hukum bagi mereka yang mencalonkan, mendukung, dan memilih calon dengan kriteria-kriteria tersebut?
Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar NU telah memberikan keputusan yang jelas: haram bagi seseorang untuk mencalonkan diri jika terbukti mengalami salah satu dari beberapa hal berikut: a) Gagal dalam melaksanakan tugas jabatan sebelumnya, b) Sering mengabaikan kepentingan rakyat, c) Menjadikan jabatan untuk kepentingan pribadi, d) Terlibat dalam korupsi. Keputusan ini juga berlaku bagi mereka yang mencalonkan, mendukung, atau memilih individu-individu yang memenuhi kriteria tersebut. Keharaman ini didasarkan pada bukti bahwa mereka tidak memiliki keahlian, tidak jujur, tidak dapat dipercaya, dan cenderung melakukan pengkhianatan terhadap amanah publik.
Penting bagi kita untuk memahami bahwa jabatan bukanlah sarana untuk meraih kekuasaan semata, melainkan sebuah tanggung jawab untuk melayani masyarakat. Dengan kesadaran ini, diharapkan calon-calon pemimpin yang muncul ke permukaan memiliki komitmen yang kuat untuk kepentingan rakyat dan tidak terjerumus ke dalam praktik-praktik yang merugikan. Jika kita ingin mengubah kondisi ini, maka kita perlu lebih selektif dalam memilih pemimpin dan mendukung mereka yang benar-benar memiliki integritas serta visi untuk membawa perubahan positif bagi masyarakat.