Seorang musafir yang menempuh perjalanan dengan jarak minimal yang diperbolehkan untuk melakukan Jamak dan Qashar shalat, dapat memilih antara berpuasa atau berbuka. Beberapa pendapat ulama menyebutkan bahwa jarak yang diperbolehkan untuk melakukan Qashar adalah 120 km, sementara sebagian yang lain berpendapat 80 km atau 90 km. Penting untuk dicatat bahwa jika seseorang melakukan perjalanan dalam satu rombongan, mereka sebaiknya tidak saling mencela.
Hamzah bin Amr al-Aslami pernah bertanya kepada Nabi Muhammad SAW, “Apakah aku boleh berpuasa dalam bepergian?” Beliau menjawab, “Barang siapa yang ingin berpuasa, maka berpuasalah, dan siapa yang ingin berbuka, berbukalah.” Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, menunjukkan bahwa tidak ada paksaan dalam menentukan pilihan antara puasa dan berbuka saat bepergian.
Dalam kesempatan lain, Rasulullah SAW melihat situasi di mana banyak orang berdesak-desakan dan ada seorang yang dipayungi. Ketika ditanya tentang orang tersebut, mereka menjawab bahwa ia sedang berpuasa. Beliau bersabda, “Berpuasa dalam perjalanan (yang sangat memberatkan) itu tidak termasuk kebajikan.” Pernyataan ini menegaskan bahwa puasa dalam keadaan sulit saat bepergian bukanlah hal yang dianjurkan.
Selama perjalanan bersama Nabi Muhammad SAW, para sahabat menyaksikan bahwa orang yang berpuasa tidak mencela orang yang berbuka, dan begitu pula sebaliknya. Hal ini menunjukkan sikap saling menghormati antar sesama musafir tanpa mempermasalahkan pilihan masing-masing.
Dengan demikian, baik puasa maupun berbuka saat bepergian memiliki landasan yang jelas dalam ajaran Islam. Musafir diberikan kebebasan untuk memilih sesuai dengan kemampuan dan keadaan mereka tanpa merasa tertekan oleh keputusan orang lain.