- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Transaksi Jual-Beli dalam Konteks Aqad

Google Search Widget

Aqad (kontrak kesepakatan) adalah salah satu elemen penting dalam muamalah. Tanpa aqad, suatu transaksi jual-beli atau pernikahan tidak dianggap sah. Contohnya, tanpa aqad nikah, seorang perempuan tidak akan sah menjadi istri bagi suaminya. Begitu pula, tanpa aqad dalam jual-beli, hak kepemilikan suatu barang, seperti sepeda motor, tidak dapat berpindah.

Namun, dengan perkembangan zaman dan teknologi, aqad sering kali dianggap sebagai hal yang kedua. Ini terlihat di minimarket atau pasar swalayan modern, di mana calon pembeli tidak lagi melakukan aqad jual-beli secara langsung dengan penjual. Harga barang sudah ditentukan dan diinformasikan kepada pembeli, baik melalui label yang ditempel maupun tulisan. Pembeli hanya perlu menyerahkan uang kepada kasir. Hal serupa juga terjadi di warung makan, di mana pembeli memesan makanan terlebih dahulu tanpa menanyakan harga, dan membayar setelahnya.

Lebih jauh lagi, di beberapa tempat sudah ada penjualan menggunakan mesin otomatis. Dengan memasukkan koin atau uang dalam jumlah tertentu, minuman yang diinginkan akan keluar tanpa adanya interaksi langsung dengan penjual. Dalam fiqih, cara transaksi tanpa shigat aqad ini dikenal sebagai mu’athah, yang masih menjadi perdebatan di kalangan ulama.

Kelompok pertama, termasuk Al-Bajuri dan Shahibul Muhadzzab, berpendapat bahwa transaksi model mu’athah tidak sah karena menghilangkan salah satu rukun aqad yaitu shighah. Dalam al-Muhadzzab dijelaskan bahwa akad jual-beli tidak sah kecuali dengan ijab-qabul. Oleh karena itu, transaksi model mu’athah dianggap tidak memenuhi syarat yang diperlukan.

Di sisi lain, kelompok kedua berpendapat bahwa transaksi model mu’athah sah secara mutlak. Pendapat ini didukung oleh Imam Malik dan sebagian ulama Syafi’iyah yang berargumen bahwa hal terpenting dalam jual-beli adalah kerelaan antara penjual dan pembeli, bukan semata-mata ijab-qabul. Dengan demikian, adat kebiasaan masyarakat setempat menjadi patokan utama. Jika suatu masyarakat menganggapnya sebagai kebiasaan, maka hukumnya dianggap sah.

Pendapat ketiga mensyahkan mu’athah dengan syarat bahwa objek jual-beli adalah barang yang tidak bernilai besar dan dianggap remeh, seperti kebutuhan sehari-hari atau makanan di warung makan. Pendapat ini didukung oleh Sayyid Sabiq dan sebagian ulama Syafi’iyyah sebagai jalan tengah yang menjembatani kedua pendapat sebelumnya.

Dalam konteks ini, akad jual-beli menjadi sah dengan ijab dan qabul, kecuali untuk hal-hal yang remeh. Dalam kasus ini, tidak wajib menggunakan ijab-qabul, cukup dengan aqad mu’athah yang mengacu pada adat kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Barang-barang yang dianggap remeh dan bersifat keseharian telah dijelaskan dalam Kifayatul Akhyar.

Dengan demikian, terdapat tiga pendapat mengenai hukum jual-beli tanpa kesempurnaan aqad akibat tidak adanya ijab-qabul. Masyarakat awam diberikan hak untuk memilih salah satu dari ketiga pendapat tersebut, karena perbedaan pendapat di antara para ulama merupakan rahmat bagi ummat.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

April 16

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?