Kemajuan teknologi elektronik membawa beragam bentuk media yang semakin dekat dengan kehidupan kita. Di masa lalu, proses belajar dan penyampaian berita berlangsung dengan lambat. Kini, informasi bisa didapatkan dengan sangat cepat. Siapa yang lebih cepat, dia yang mendapatkan keuntungan. Kita dapat menyaksikan berbagai acara langsung yang seolah tak ada jarak antara peristiwa nyata dan informasi yang diterima.
Perubahan ini berdampak besar pada berbagai aspek kehidupan. Dari sistem pembelajaran yang dikenal sebagai e-learning hingga administrasi seperti e-KTP, hingga dalam dunia dakwah. Bagi sebagian orang yang meyakini kemajuan teknologi dan objektivitas media, perkembangan ini disambut gembira karena meringankan kewajiban dalam mencari ilmu ‘thalabul ilmi’, sesuai dengan seruan Rasulullah saw yang terkenal, “Uthlubul ilma wa lau bis-shin,” yang artinya carilah ilmu hingga ke negeri Cina.
Namun, benarkah demikian? Apakah cukup mencari ilmu hanya dengan duduk di depan televisi sambil menikmati teh dan mendengarkan ceramah para ustadz? Atau hanya dengan menggerakkan mouse di depan komputer untuk mengunjungi berbagai situs Islam? Apakah semua itu sudah mencukupi?
Muallim KH. Syafi’I Hadzami pernah menyatakan bahwa mendengarkan materi dakwah melalui media apapun bukanlah proses mencari ilmu. Memang, mendengarkan berbagai materi dakwah adalah amal baik dan insya Allah akan memberikan manfaat. Namun, jika dilakukan tanpa ada usaha yang sungguh-sungguh, itu belum layak disebut sebagai thalabul ilmi. Sebab, thalabul ilmi memerlukan seorang guru yang akan membimbing, mengarahkan, serta memberikan teladan praktis dalam kehidupan nyata. Dalam bahasa Jawa, guru adalah sosok yang bisa digugu dan ditiru—yang fatwa dan tindakannya dapat diikuti.
Oleh karena itu, jika tidak menemukan seorang guru, maka seseorang harus mencarinya hingga bertemu, meskipun harus berjalan sejauh negeri Arab hingga Cina. Seperti yang dilakukan Nabi Allah Musa as. saat menempuh perjalanan panjang untuk menemukan Guru Nabi Allah Khidir as. Dalam konteks ini, perjalanan tersebut menggambarkan usaha keras, kelelahan, dan perjuangan.
Kata thalabul ilmi sangat erat kaitannya dengan thalabul mursyid dan thalabus syaikh sebagai penunjuk arah. Posisi seorang guru dalam pencarian ilmu sangatlah penting, sebagaimana diungkapkan oleh Ibn Ruslan dalam syairnya:
من لم يكن يعلم ذا فليسأل * من لم يجد معلما فليرحل
Barang siapa yang tidak mengetahui suatu masalah hendaklah bertanya. Barang siapa yang tidak menemukan guru, hendaklah bepergian.
Kata “berlayar” dalam konteks syair tersebut menggambarkan perjalanan yang seharusnya disertai usaha keras dan kesungguhan. Wallahu a’lam bis-showab.