- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Pengajaran Islam dan Pentingnya Tajwid dalam Membaca Al-Qur’an

Google Search Widget

Sering kali kita mendengar pengajian dan ta’lim di berbagai tempat, seperti masjid perkantoran, masjid komplek, dan mushalla-mushalla. Pengajaran ini membahas berbagai ajaran Islam, mulai dari fiqih, tauhid, hadits, hingga tafsir. Hal ini patut diapresiasi sebagai kemajuan dakwah Islam. Para da’i mampu menarik perhatian jama’ah dengan humor dan retorika yang mengagumkan.

Namun, sering kali kelihaian retorika dan gaya penampilan tidak diimbangi dengan pemahaman yang mendalam. Banyak da’i yang hanya mengandalkan buku-buku terjemahan, sehingga ketika mereka menyampaikan materi, terlihat kurang percaya diri saat mengutip ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits. Akibatnya, jama’ah lebih sering mendengar potongan terjemahan daripada lantunan ayat Al-Qur’an secara langsung. Padahal, pahala dalam membaca Al-Qur’an diperoleh ketika dibaca (al-mutaabad ditilawatihi), bukan hanya dituliskan atau diterjemahkan.

Lebih mengejutkan lagi, banyak pengajian yang membahas tafsir Al-Qur’an, tetapi pengajarnya tidak mampu membaca Al-Qur’an dengan tartil sesuai aturan tajwid. Meski kini banyak tersedia materi tafsir Al-Qur’an dalam versi terjemahan, hal ini mengingatkan kita pada sejarah orientalis yang mempelajari Al-Qur’an tanpa membaca teks aslinya dengan tujuan untuk menghinakan Islam. Naudzubillah min dzalik.

Pertanyaannya adalah: bolehkah membaca Al-Qur’an tanpa tajwid? Dan bagaimana hukum mengajarkan tafsir Al-Qur’an tanpa mengetahui ilmu tajwid?

Sebelum membahas hukum membaca Al-Qur’an tanpa tajwid, penting untuk memahami apa itu tajwid. Tajwid adalah ilmu yang mengatur cara membaca Al-Qur’an dengan benar, yaitu memberikan hak dan mustahak pada setiap huruf. Hak-hak huruf mencakup sifat-sifat yang melekat pada huruf tersebut, seperti jahr dan syiddah. Sedangkan mustahaknya adalah sifat-sifat yang muncul dari huruf tersebut, seperti tafkhim dan tarqiq.

Hukum membaca Al-Qur’an dengan tajwid adalah fardhu ain. Siapa pun yang membaca Al-Qur’an wajib melakukannya sesuai dengan aturan tajwid. Ini berlaku bagi semua Muslim, baik laki-laki maupun perempuan, termasuk ustadz, ahli tafsir, ahli hadits, ilmuwan, maupun fisikawan.

Allah SWT berfirman: “وَارْتَلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا” yang berarti “Dan bacalah Al-Qur’an dengan tartil.” Dalam Tafsir Baidhowy dijelaskan bahwa tartil berarti membaca dengan tajwid yang benar. Hal ini juga dijelaskan dalam Al-Mandzumatul Jazariyyah yang menegaskan bahwa menggunakan tajwid adalah kewajiban. Barang siapa tidak mentajwidkan Al-Qur’an berarti ia berdosa.

Sebagaimana ancaman dalam sebuah hadits yang menyatakan bahwa terkadang orang yang membaca Al-Qur’an justru mendapatkan laknat. Ini menunjukkan betapa besarnya dosa seseorang yang membaca Al-Qur’an tanpa memperhatikan tajwidnya.

Lalu, bagaimana dengan seseorang yang membahas tafsir tetapi tidak memahami tajwid? Boleh saja membahas tafsir tanpa membaca Al-Qur’an, namun sulit untuk membahas tafsir Al-Qur’an tanpa membacanya. Jika ada yang melakukannya, itu tentu sangat tidak sopan.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

April 17

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?