Fiqih merupakan salah satu bentuk pengetahuan dalam Islam yang sangat luas cakupannya. Ilmu ini bisa dianggap komprehensif, mengatur berbagai aspek kehidupan seorang muslim, lengkap dengan hukum-hukumnya. Hal ini mencakup hubungan antar sesama manusia (hablum minan nas) serta hubungan dengan Tuhan (hablum minallah). Tiga unsur utama fiqih adalah ubudiyyah, muamalah, dan munakahat.
Namun, sering kali fiqih dipahami hanya sebagai sekumpulan hukum dan ritual ibadah, yang terbatas pada pembahasan sah atau tidaknya shalat, zakat, puasa, dan haji. Padahal, fiqih juga mencakup aspek moral yang memiliki nilai tidak kalah penting dibandingkan dengan hukum itu sendiri.
Hal ini terlihat dalam pengkategorian kelompok terhormat dan tidak terhormat yang dilakukan oleh Syaikh Salim bin Samir Hadramy dalam kitabnya Safinatun Naja, khususnya terkait masalah tayammum sebagai pengganti wudhu. Dalam bab tersebut, terdapat tiga sebab yang memperbolehkan seseorang bertayammum: pertama, jika tidak ada air; kedua, karena sakit; dan ketiga, jika air lebih dibutuhkan untuk minum hewan yang terhormat. Dalam konteks ini, air yang ada sebaiknya digunakan untuk minuman hewan yang terhormat daripada untuk wudhu, sehingga tayammum menjadi alternatif.
Jika teks tersebut dibaca dengan cermat, maka muncul pertanyaan konkret mengenai siapa saja kelompok ‘hewan’ terhormat dan siapa yang tidak terhormat. Dalam menjelaskan kelompok yang tidak terhormat, Syaikh Salim bin Samir menyebutkan beberapa kategori: pertama, orang yang meninggalkan shalat; kedua, orang yang melakukan zina (zina muhshan); ketiga, orang murtad (keluar dari Islam); keempat, kafir harbi (kafir yang terlibat perang dengan muslim); kelima, anjing galak; dan keenam, babi.
Dengan demikian, pembahasan mengenai tayammum ini tidak hanya berkisar pada aspek bersuci (thoharoh), tetapi juga mencakup masalah moral yang tercermin dalam kategorisasi Syaikh Salim tentang mereka yang tidak berhak mendapat penghormatan. Wallahu a’lam bis showab.