Dalam kajian fiqih, istilah ‘huntsa musykil’ digunakan untuk menggambarkan posisi problematis seorang banci. Al-Qur’an secara tegas mengategorikan jenis kelamin menjadi laki-laki dan perempuan, seperti tercantum dalam ayat yang menyatakan, “Dan demi kejadiannya laki-laki dan perempuan.”
Istilah banci berasal dari bahasa Cina, yaitu BAN yang berarti double dan CI yang berarti lubang. Dengan demikian, banci dapat diartikan sebagai individu yang memiliki dua lubang, yang dalam fiqih dikenal sebagai huntsa musykil. Istilah ini merujuk kepada manusia yang memiliki kedua alat kelamin, yaitu alat kelamin laki-laki dan perempuan. Kata musykil menggambarkan kesulitan dalam menentukan jenis kelamin orang tersebut, yang berdampak pada ketidakjelasan posisi mereka dalam ranah fiqih yang bersifat biner.
Ketidakjelasan jenis kelamin membuat posisi mereka dilematis. Misalnya, apakah mereka dapat menjadi imam dalam shalat atau calon istri dalam pernikahan? Siapa yang batal wudhunya jika bersentuhan dengan mereka, lelaki atau perempuan? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi sulit dijawab apabila jenis kelamin tidak dapat ditentukan. Dalam fiqih, penentuan jenis kelamin tidak didasarkan pada konstruksi sosial, melainkan pada alat kelamin yang dimiliki. Meskipun seorang banci dianggap sebagai laki-laki atau perempuan oleh masyarakat, selama dia memiliki dua alat kelamin, kemusykilan ini akan terus mengikutinya.
Pertama, hukum perkawinan antara huntsa musykil atau banci berkelamin ganda dianggap tidak sah meskipun mereka cenderung memilih satu jenis kelamin dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini karena illat (alasan) terletak pada kepemilikan alat kelamin. Dalam kitab Hasyiyatul Bajuri disebutkan bahwa pernikahan tidak sah jika pengantin laki-laki tidak yakin akan kelelakiannya, dan hal yang sama berlaku bagi pengantin perempuan.
Dalam hal jama’ah, seorang huntsa musykil dapat berjama’ah bersama-sama dengan cara pengaturan shaf: di depan kelompok ma’mum laki-laki, di belakangnya kelompok ma’mum huntsa musykil, dan paling belakang adalah kelompok ma’mum perempuan. Seorang huntsa musykil tidak boleh mengimami lelaki, tetapi boleh menjadi imam bagi perempuan. Namun, perempuan tidak diperkenankan menjadi imam bagi huntsa musykil karena dikhawatirkan nafsu kelelakiannya akan muncul.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa jenis kelamin ditentukan oleh alat kelamin, bukan tingkah laku sehari-hari. Walaupun seseorang berpakaian perempuan dan berperilaku seperti perempuan, jika alat kelamin yang dimilikinya adalah dzakar, maka hukum fiqih yang berlaku baginya adalah hukum lelaki. Sebaliknya, jika alat kelamin yang dimilikinya adalah vagina, meskipun ia berperilaku seperti lelaki, hukum fiqih yang berlaku tetaplah hukum perempuan.
Penting untuk dicatat bahwa haram hukumnya seorang lelaki menyerupai perempuan dan seorang perempuan menyerupai lelaki. Rasulullah saw telah melaknat perbuatan ini dalam haditsnya.
Kesimpulannya, problematika seorang banci dengan dua alat kelamin akan terus ada selama kedua alat kelamin tersebut ada dalam dirinya. Hal ini menunjukkan tantangan dalam penentuan identitas dan posisinya dalam masyarakat dan fiqih.