Merayakan hari kelahiran Rasulullah SAW, yang dalam tradisi kita sering disebut Maulid atau Maulidan, merupakan amal kebajikan. Jika perayaan ini disertai dengan keikhlasan dan niat yang tulus, maka ia akan menjadi sebuah ibadah yang pahalanya dijanjikan oleh Allah SWT. Niat yang lurus dalam merayakan Maulid adalah melakukannya dengan penuh rasa kegembiraan dan kecintaan terhadap kelahiran Rasulullah SAW.
Sebagaimana penjelasan Ibn Taimiyah yang dikutip oleh Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki, beliau menyatakan, “Orang-orang yang melaksanakan perayaan Maulid Nabi akan diberi pahala. Demikian pula apa yang dilakukan oleh sebagian orang. Adakalanya bertujuan meniru di kalangan Nasrani yang memperingati kelahiran Isa AS, dan adakalanya juga dilakukan sebagai ekspresi rasa cinta dan penghormatan kepada Nabi Muhammad. Allah Ta’ala akan memberi pahala kepada mereka atas kecintaan mereka kepada Nabi mereka, bukan atas bid’ah yang mereka lakukan.”
Sebagai amal yang baik, perayaan Maulid harus bebas dari hal-hal negatif, buruk, dan dosa. Di Nusantara, maulidan biasanya dilakukan secara bersama-sama dalam satu majlis. Pada majlis tersebut, ayat-ayat Al-Qur’an biasanya dibacakan sebagai pembuka, diikuti dengan pembacaan Maulid Dhiba’, Al-Barzanji, atau Syaraful Anam serta berbagai puji-pujian kepada Rasulullah SAW.
Tidak hanya itu, di beberapa tempat ada ta’lim yang diisi oleh seorang muballigh yang berdakwah, menuturkan kisah dan mengagungkan Rasulullah SAW sebagai uswah hasanah. Bentuk kreativitas perayaan ini sangat tergantung pada tradisi masing-masing daerah. Namun, standar yang harus ada dalam sebuah perayaan Maulid adalah pembacaan Al-Qur’an, penuturan kisah Rasulullah SAW, dan hidangan sebagai bentuk rasa syukur atas rahmat Allah SWT yang telah mengutus Rasulullah SAW.
Hidangan ini juga menjadi ruang berbagi sedekah bagi mereka yang mampu, sehingga tercipta suasana kebersamaan antar umat. Bentuk perayaan seperti ini diisyaratkan oleh Imam al-Suyuthy dalam Husnul Maqshad fi Amalil Maulid: “Bahwa asal perayaan Maulid Nabi Muhammad adalah manusia berkumpul, membaca Al-Qur’an dan kisah-kisah teladan, kemudian menghidangkan makanan yang dinikmati bersama, setelah itu mereka pulang. Hanya itu yang dilakukan, tidak lebih. Semua itu termasuk bid’ah hasanah. Orang yang melakukannya diberi pahala karena mengagungkan derajat Nabi dan menampakkan suka cita serta kegembiraan atas kelahiran Nabi Muhammad yang mulia.”
Perayaan Maulid Nabi seharusnya menjadi momen untuk meneguhkan cinta kita kepada Rasulullah SAW sekaligus menciptakan ikatan sosial yang lebih kuat antar umat.