Shalat Tarawih merupakan salah satu ibadah yang sudah tidak asing bagi umat Islam di Indonesia. Hampir setiap Muslim pernah melaksanakannya, terutama pada awal bulan Ramadhan. Pada malam-malam awal Ramadhan, masjid atau mushala dipenuhi oleh jamaah yang melaksanakan shalat isya` berjama’ah sekaligus Tarawih. Jumlah rakaat yang dilaksanakan pun bervariasi; ada yang mengerjakan 8 rakaat, sementara yang 20 rakaat lebih umum di kalangan Nahdliyyin (NU). Shalat Witir yang dilakukan di akhir biasanya sebanyak 3 rakaat, baik oleh orang NU maupun bukan. Pelaksanaan 20 rakaat Tarawih umumnya dilakukan dengan cara dua rakaat salam.
Setelah shalat sunnah rawatib (ba’diyah) usai, bilal mengumumkan tibanya shalat Tarawih dengan seruan, “Marilah shalat Tarawih berjama’ah!” Imam pun maju ke depan, dan bisa dipastikan surat yang dibaca setelah al-Fatihah adalah surat at-Takatsur. Bacaan ini telah menjadi ciri khas masjid-masjid atau mushala-mushala NU. Rakaat kedua setelah al-Fatihah biasanya diisi dengan surat Al-Ikhlash. Setelah menyelesaikan dua rakaat, akan ada sela-sela lantunan shalawat yang diserukan oleh bilal dan dijawab oleh jamaah.
Saat shalat Tarawih mencapai rakaat kedua puluh, bacaan surat setelah al-Fatihah biasanya berlanjut ke surat al-Lahab dan al-Ikhlash. Shalat Witir dilakukan setelahnya, umumnya dengan dua rakaat dan satu rakaat. Dalam pelaksanaan ini, imam sering memilih surat al-A’la dan al-Kafirun. Para imam Tarawih NU umumnya memilih untuk tidak bertele-tele dalam pelaksanaan shalat. Hal ini merujuk pada hadits yang menyebutkan, “Di belakang Anda ada orang tua yang punya kepentingan.” Dengan demikian, pelaksanaan 23 rakaat Tarawih beserta Witir biasanya dapat diselesaikan dalam waktu sekitar 45 menit.
Berbeda dengan pelaksanaan shalat di Masjidil Haram, Makkah, di mana 23 rakaat diselesaikan dalam waktu sekitar 90 hingga 120 menit. Di sana, imam membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an secara berurutan dari awal hingga akhir. Setiap malam, mereka berusaha menyelesaikan sekitar satu juz lebih, sehingga pada tanggal 29 Ramadhan (dulu setiap tanggal 27 Ramadhan) sudah khatam. Pada malam ke-29 Ramadhan, ada tradisi khataman Al-Qur’an dalam shalat Tarawih di Masjidil Haram. Di rakaat terakhir, imam memanjatkan doa yang terbilang panjang, bisa mencapai 15 menit, sebuah doa yang jarang dilakukan oleh seorang kiai dalam waktu sepanjang itu, bahkan di luar shalat.
Dalam kitab Shalat al-Tarawih fi Masjid al-Haram dikatakan bahwa sejak masa Rasulullah, Abu Bakar, Umar, Usman, dan seterusnya hingga kini, shalat Tarawih di Masjidil Haram selalu dilakukan sebanyak 20 rakaat dan 3 rakaat Witir. Warga Nahdliyyin yang memilih Tarawih 20 rakaat ini didasari oleh beberapa dalil. Dalam Fiqh as-Sunnah Juz II disebutkan bahwa mayoritas pakar hukum Islam sepakat berdasarkan riwayat yang menyatakan bahwa kaum Muslimin melakukan shalat sebanyak 20 rakaat pada zaman Umar, Utsman, dan Ali.
Sahabat Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW mengerjakan shalat Tarawih di bulan Ramadhan sendirian sebanyak 20 rakaat ditambah Witir (HR Baihaqi dan Thabrani). Ibnu Hajar juga menyatakan bahwa Rasulullah shalat bersama kaum Muslimin sebanyak 20 rakaat di malam Ramadhan. Pada malam ketiga, orang-orang berkumpul namun Rasulullah tidak keluar. Keesokan harinya beliau bersabda:
خَشِيْتُ أَنْ تَفَرَّضَ عَلَيْكُمْ فَلَا تُطِيْقُونَهَا
“Aku takut kalau-kalau tarawih diwajibkan atas kalian, kalian tidak akan mampu melaksanakannya.” Hadits ini disepakati kesahihannya meskipun tidak menafikan hadits lain yang diriwayatkan Aisyah yang tidak menyebutkan jumlah rakaatnya.