- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Puasa: Rukun, Niat, dan Pembatalan

Google Search Widget

Puasa memiliki dua rukun utama, yaitu menahan diri (al-imsak) dan niat. Menahan diri berarti menahan diri dari makanan, minuman, dan hubungan suami-istri sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Dalam Al-Qur’an disebutkan: “Maka sekarang campurilah mereka (istri-istrimu) dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu, makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam” (QS. 2:187). Ini menunjukkan bahwa setelah matahari terbenam, umat diperbolehkan untuk makan, minum, dan bersatu kembali dengan istri hingga datangnya fajar.

Dalam kitab Sahih Bukhari, terdapat riwayat dari Sahl Ibn Sa’d tentang ayat ini. Awalnya, orang-orang yang hendak berpuasa mengikatkan benang putih dan hitam di kaki mereka untuk mengetahui waktu puasa. Namun, setelah turun wahyu yang menjelaskan bahwa benang putih dan hitam adalah siang dan malam, mereka pun memahami maksud sebenarnya.

Ada juga riwayat dari ‘Adda Ibn Hatim yang menjelaskan kebingungan serupa. Ia mengira bahwa yang dimaksud dalam ayat adalah dua helai benang dan meletakkannya di bawah bantal sebagai patokan. Setelah dijelaskan oleh Nabi Muhammad saw., ia baru menyadari bahwa yang dimaksud adalah perbedaan antara siang dan malam.

Definisi puasa sebagai menahan diri mencakup semua hal yang membatalkan puasa, seperti makan, minum, dan hubungan seksual. Hal-hal lain yang juga dapat membatalkan puasa adalah memasukkan sesuatu ke dalam tubuh melalui rongga-rongga tertentu, seperti infus. Jika seseorang dengan sengaja memasukkan benda ke dalam lambung, puasanya menjadi batal. Begitu pula dengan obat tetes mata atau celak; jika terasa di tenggorokan, ada pendapat yang menyatakan puasanya batal. Namun, ada juga ulama yang berpendapat bahwa penggunaan celak tidak membatalkan puasa karena mata bukanlah saluran langsung ke perut.

Hal-hal yang tidak disengaja, seperti debu yang tertelan atau air liur, tidak membatalkan puasa. Begitu pula mimpi basah atau muntah yang terjadi secara tiba-tiba; semua hal ini dianggap tidak membatalkan puasa.

Rukun kedua dalam puasa adalah niat. Pengikut mazhab Syafi’i menganggapnya sebagai rukun puasa, sementara mazhab lainnya menganggapnya sebagai syarat. Niat secara bahasa berarti maksud atau tujuan. Dalam konteks agama, niat berarti bermaksud melaksanakan suatu ibadah. Dalil tentang kewajiban niat ini terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad saw.

Nabi bersabda: “Barang siapa yang tidak berniat puasa pada malam hari sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya.” Ini menunjukkan pentingnya niat sebelum menjalankan puasa. Waktu niat adalah sepanjang malam, mulai dari terbenamnya matahari hingga menjelang fajar. Niat ini membedakan ibadah dari kebiasaan sehari-hari.

Niat tidak harus diucapkan dengan lisan; cukup hadir dalam hati saat sahur di malam hari. Menurut Mazhab Mâlikî, jika puasa dilakukan berturut-turut seperti Ramadan, niat cukup dilakukan sekali saja. Namun jika ada jeda karena uzur, niat harus dihadirkan setiap malam.

Untuk puasa sunah, menurut Mazhab Syafi’i, niat bisa dilakukan baik malam hari maupun pagi sebelum waktu Dzuhur, selama belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa. Sementara itu, Mazhab Hanbalî memperbolehkan niat sunah dilakukan pada siang hari asalkan tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasa.

Dengan berbagai pendapat ini, disarankan untuk melakukan niat pada malam hari guna menghindari perbedaan pendapat.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

November 22

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?