Sering kali, kita sebagai seorang Muslim yang awam belajar shalat maupun ibadah lainnya hanya sebatas yang diperlukan. Tak jarang, ada di antara kita yang enggan bertanya kepada para ustadz atau mu’allim tentang hal-hal yang sebenarnya ada dalam benak kita. Entah karena merasa bahwa pertanyaan tersebut tidak penting atau merasa tidak enak jika terlalu banyak bertanya, terutama jika pertanyaannya diawali dengan kata tanya “mengapa”. Namun, ketika saatnya tiba, kita sering menyesal mengapa hal itu tidak kita tanyakan. Bukankah pepatah mengatakan, “malu bertanya sesat di jalan”?
Kasus seperti ini biasanya muncul dalam masalah-masalah yang tampaknya sepele, yang sering dianggap biasa saja. Salah satu contohnya adalah menegakkan jari telunjuk kanan ketika membaca tasyahud dalam shalat, baik pada tasyahud awal maupun tasyahud akhir.
Para mu’allim, kyai, dan ustadz telah mengajarkan shalat dengan cara ini turun-temurun hingga kepada Rasulullah SAW, sebagaimana hadits yang populer:
صلوا كما رأيتموني أصلي – رواه البخاري.
Rasulullah SAW bersabda, “Shalatlah kalian sebagaimana kamu melihat (tata cara) shalatku.” (HR. Bukhari)
Namun, ada hikmah mendalam di balik pengangkatan jari telunjuk ini, sebagaimana diungkapkan dalam kitab Zubad oleh Syaikh Ibnu Ruslan:
وعند إلا الله فـــالمهللة * إرفع لتوحيد الذى صليت له
“Dan ketika mengucapkan ‘illallah’, angkatlah telunjukmu guna mengesakan Tuhan, karena itulah tujuan shalatmu.”
Kalimat dalam bait di atas mungkin tampak sederhana, tetapi makna di balik kesederhanaan itu sangat dalam. Shalat yang kita lakukan tidak semata untuk menggugurkan kewajiban, tetapi untuk mengesakan-Nya. Sudahkah kita melaksanakan shalat dengan kesadaran seperti itu?
Hikmah penting di balik pengangkatan telunjuk ketika tasyahud ini dijelaskan lebih lanjut dalam Hasyiah atas Syarah Sittin oleh Allamah ar-Ramli, yang menyatakan bahwa mengangkat telunjuk ketika tasyahud adalah sunnah:
ويسن أن يشير بها عند قوله إلا الله ولتكن منحنية متوجهة للقبلة وذلك فى تشهديه
“Disunnahkan berisyarat dengan telunjuk (tangan kanan) ketika mengucapkan ‘Illallah’ dan hendaklah telunjuk itu membungkuk menghadap qiblat, baik dalam tasyahud awal maupun akhir.”
Keputusan para ulama di atas tentunya bukanlah tanpa dasar. Sebagai penguat, terdapat hadits dari az-Zubair dalam Musnad Imam Ahmad yang menjelaskan:
حدثنا يحيى بن سعيد عن ابن عجلان قال حدثني عامر بن عبد الله بن الزبير عن أبيه قال كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا جلس في التشهد وضع يده اليمنى على فخذه اليمنى ويده اليسرى على فخذه اليسرى وأشار بالسبابة ولم يجاوز بصره إشارته
“Ketika Rasulullah SAW duduk dalam tasyahud, beliau meletakkan tangan kanannya di atas paha kanan dan tangan kirinya di atas paha kiri, serta berisyarat dengan telunjuk. Pandangan beliau pun tidak melampaui isyaratnya.” (HR. Ahmad, Muslim dan Nasa’i)
Hikmah berikutnya adalah bahwa Rasulullah SAW secara tidak langsung mengajarkan umatnya bahwa telunjuk dapat menjadi media untuk mencapai shalat yang khusyu’. Dengan membatasi pandangan kita agar tidak melampaui isyarat tersebut, metode ini dapat dikembangkan lebih lanjut bagi mereka yang memiliki semangat untuk meraih khusyu’ dalam shalat.
Pembahasan mengenai hukum dan dalil terkait gerakan telunjuk ketika tasyahhud juga sudah tersedia dalam rubrik ubudiyah. Mari kita menengoknya kembali untuk memahami lebih dalam tentang ibadah kita.