Kasus pencurian ikan oleh nelayan asing di perairan Indonesia kembali marak. Modus operandi pencurian ini bahkan telah berkembang menjadi penyelundupan, di mana ikan hasil curian dijual kembali ke pasar Indonesia. Menurut informasi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, kerugian akibat penjarahan nelayan asing mencapai Rp 30 triliun per tahun. Pencurian dan penjarahan ini terutama terjadi di Laut China Selatan, Arafuru, Laut Sulawesi, serta perairan lain yang terhubung langsung dengan negara tetangga. Namun, seringkali nelayan Indonesia secara tidak sengaja juga mencuri ikan di laut negara tetangga.
Dalam tinjauan fiqih, pencurian ikan semacam ini tidak termasuk dalam kategori sariqah syar’an (pencurian menurut syariah), tetapi tetap dianggap haram karena melanggar kesepakatan antarnegara. Hal ini diungkapkan oleh Sulaiman al-Mansyur al-Jamal dalam karyanya, Futuhat al-Wahhab bi Syarh Minhaj al-Thullab.
Hukum mengenai ikan di kolam, hewan buruan, serta kekayaan alam lainnya menyatakan bahwa hal-hal tersebut tidak boleh dikuasai atau diberikan kepada pihak lain oleh pemerintah, meskipun hanya untuk kepentingan pemanfaatan. Kekayaan alam dapat dimiliki dengan mengikuti hukum kepemilikan lahan; ketika seseorang memiliki lahan, maka ia berhak atas sumber daya yang ada di dalamnya.
Batas negara tidak dapat dijadikan ketentuan hukum kepemilikan, tetapi dapat menjadi acuan hukum dalam hal hak kekuasaan negara tertentu. Meskipun ikan tidak dapat dimiliki oleh negara tertentu, negara tetap memiliki kekuasaan atas wilayah tersebut. Abdul Qadir al-Audah dalam Tasyri’ al-Jina’i al-Islami menjelaskan bahwa setiap gunung, padang sahara, sungai, laut, lahan, pulau, dan udara yang mengikuti wilayah negara Islam termasuk dalam kekuasaan negara tersebut.
Posisi ikan sebagai barang curian dapat dirampas oleh negara sebagai ta’zir mal. Hal ini bisa disamakan dengan kasus Nufail yang dijelaskan oleh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi dalam Tasyri’ al-Jina’i al-Islami. Dalam hal ini, barang-barang yang diperoleh melalui cara yang tidak sah seharusnya dirampas oleh pihak berwenang.
Dalam konteks hukum Islam, sanksi terhadap pencurian harta bisa diterapkan berdasarkan hadis al-Nufail, di mana Nabi Saw. bersabda: “Siapa saja yang berburu di tanah haram Madinah, maka rampaslah perlengkapannya.” Dengan mempertimbangkan hal ini dalam kasus kriminal dan penetapan ta’zir, kita juga perlu memikirkan konsekuensi dari tindakan meninggalkan jamaah.
Keputusan Muktamar NU KE-XXXII yang berlangsung di Asrama Haji Sudiang Makassar pada tanggal 7-11 Rabi’ul Akhir 1431 H/22 – 27 Maret 2010 menegaskan perlunya penegakan hukum yang tegas terhadap kasus pencurian ikan demi melindungi kekayaan laut Indonesia.