- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Penggusuran Tanah untuk Kepentingan Umum: Memahami Hak dan Kewajiban

Google Search Widget

Pembangunan sering kali menimbulkan ekses, salah satunya adalah penggusuran tanah yang merugikan masyarakat. Meskipun alasan penggusuran sering kali dikemukakan untuk kepentingan umum, tidak jarang hal ini menjadi kedok untuk kepentingan segelintir orang. Ganti rugi yang diberikan kepada masyarakat biasanya tidak sebanding dengan harapan mereka.

Pada dasarnya, penggusuran tanah oleh pemerintah demi kepentingan umum (al-maslahah al-’ammah) diperbolehkan, asalkan benar-benar digunakan untuk kepentingan masyarakat dan disertai dengan ganti rugi yang memadai. Contoh nyata dapat dilihat pada masa Khalifah Umar ra, ketika jumlah penduduk meningkat dan ia perlu memperluas Masjid Nabawi dengan membeli dan merobohkan bangunan di sekitarnya. Umar memberikan harga yang pantas agar pemilik bangunan mau menerima keputusan tersebut.

Penggusuran tanah oleh pemerintah bukan hal baru. Pertanyaan mengenai pemotongan ruas jalan untuk kepentingan umum sering muncul di kalangan masyarakat. Jawabannya adalah bahwa tindakan tersebut boleh dan bahkan wajib dilakukan oleh penguasa jika berpotensi menghasilkan kemaslahatan. Kewajiban ini dibebankan kepada penguasa, dan biaya harus diambil dari kas negara. Jika terdapat kendala karena tindakan sewenang-wenang pegawai, maka biaya dapat dibebankan kepada orang-orang kaya.

As-Syathibi dalam kitabnya juga menunjukkan bahwa kepentingan umum harus didahulukan dibandingkan kepentingan pribadi. Dalam konteks ini, kriteria kepentingan umum yang disepakati oleh para ulama meliputi masjid, jalan umum, dan kuburan. Pemaknaan ini terus berkembang seiring waktu, mencakup fasilitas umum seperti taman kota dan tempat umum lainnya.

Jika pemilik tanah terpaksa harus menjual tanahnya demi kepentingan umum, penjualannya dianggap sah. Dalam hal ini, pemerintah harus bertindak amanah tanpa motif kepentingan pribadi, serta memberikan ganti rugi yang adil. Menurut Musthafa Ahmad al-Zarqa, jika keputusan pemerintah tidak diindahkan, fiqih memperbolehkan adanya pemaksaan, dengan syarat ganti rugi dilakukan secara adil.

Contoh lain dari pengambilan hak milik adalah ketika lahan di sekitar masjid diperlukan untuk perluasan. Dalam hal ini, jika pemilik menolak untuk menjual, agama Islam mengizinkan pengambilan hak milik secara paksa demi kepentingan jamaah yang semakin membutuhkan ruang. Para ulama juga membolehkan pengambilan sebagian area masjid untuk keperluan jalan umum jika sangat diperlukan.

Dengan demikian, jelas bahwa fiqih sangat memperhatikan kepentingan umum. Pemerintah sebagai pengayom dan pengambil kebijakan harus tetap dalam koridor obyektif agar kepentingan umum benar-benar terjaga, bukan digunakan untuk kepentingan pribadi atau golongan tertentu.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

December 24

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?