Dalam perjalanan Isra’ Mi’raj, setelah melewati Masjidil Aqsha, Nabi Muhammad SAW diangkat ke langit tujuh, Sidratul Muntaha, dan Baitul Ma’mur. Imam Al-Bukhari meriwayatkan bahwa pada saat peristiwa Mi’raj, Allah SWT mewajibkan Nabi Muhammad beserta umat Islam untuk melaksanakan shalat lima puluh kali sehari semalam. Nabi Muhammad menerima hal itu dan segera bergegas. Namun, Nabi Musa AS memperingatkan bahwa umat Muhammad tidak akan mampu melaksanakan shalat sebanyak itu. “Aku telah belajar dari pengalaman umat manusia sebelum kamu. Aku pernah mengurusi Bani Israil yang sangat rumit. Kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah keringanan untuk umatmu.”
Nabi Muhammad kembali menghadap Sang Rabb untuk meminta keringanan, dan permohonannya dikabulkan. Jumlah shalat yang diwajibkan pun berkurang menjadi sepuluh waktu. Meskipun demikian, Nabi Musa masih meragukan kemampuan umat Muhammad untuk melaksanakan sepuluh waktu tersebut. “Mintalah lagi keringanan.” Nabi Muhammad kembali dan akhirnya mendapatkan keringanan lagi hingga menjadi hanya lima waktu.
Nabi Musa masih merasa bahwa lima waktu itu berat dan mendorong Nabi Muhammad untuk kembali meminta keringanan. Namun, Nabi Muhammad merasa malu untuk meminta lebih jauh. “Aku sudah meminta keringanan kepada Tuhanku, sampai aku malu. Kini aku sudah ridha dan pasrah.”
Nabi Muhammad mengakui bahwa pendapat Nabi Musa AS benar adanya; lima kali shalat sehari semalam tetap saja terasa memberatkan. Namun, lima waktu itu sudah merupakan bentuk keringanan yang diberikan oleh Allah SWT.
Shalat telah diwajibkan bagi Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya sejak diturunkannya firman Allah pada awal kenabian, “Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya)…” (QS. Al-Muzzammil, 73:1-19). Ini menunjukkan bahwa Rasulullah dan para pengikutnya yang masih sedikit jumlahnya saat itu memiliki kewajiban untuk bangun di tengah malam untuk melaksanakan shalat. Menurut Ibnu Abbas, Ikrimah, Mujahid, al-Hasan, Qatadah, dan ulama salaf lainnya, kewajiban shalat malam dihapuskan setelah ayat ke-20 surat Al-Muzzammil diturunkan oleh Allah SWT.
Pelaksanaan ibadah shalat menunjukkan bahwa Baitul Maqdis di Yerusalem memiliki posisi yang sangat penting dalam agama Islam sebagai kiblat pertama umat Islam. Selama kurang lebih 13 tahun, Nabi Muhammad dan para pengikutnya melaksanakan shalat menghadap Baitul Maqdis, sebelum akhirnya Allah memerintahkan umat Islam untuk memindahkan kiblat ke Ka’bah di Makkah. Pemindahan arah kiblat ini terjadi saat ibadah shalat sedang berlangsung, dan masjid tempat perintah berpindah kiblat ini diturunkan kini dikenal sebagai Masjid Kiblatain (Masjid Dua Kiblat).
Allah senantiasa melibatkan Masjidil Aqsho dalam setiap perkembangan ajaran seputar shalat, termasuk perintah menghadap ke Baitul Maqdis sebelum kiblatnya dipindahkan ke Ka’bah. Perintah shalat lima waktu diterima setelah Rasulullah diberikan kesempatan singgah di Baitul Maqdis (QS. Al-Isra’, 17:1) dalam perjalanan menuju Sidratul Muntaha. Imam Syafi’i menyatakan, “Saya sangat suka beri’tikaf di Masjid (Baitul Maqdis), lebih dari masjid manapun.” Ketika ditanya alasannya, beliau menjawab, “Di sinilah tempat berkumpul dan dikuburkannya beberapa Nabi Allah.”