Hingga saat ini, negara kita masih menghadapi krisis ekonomi yang berkepanjangan. Untuk menutupi anggaran, pemerintah terpaksa meminjam dana dari berbagai sumber, sehingga utang negara kini mencapai sekitar 1.859,43 triliun rupiah atau 202,55 miliar dolar AS. Jika utang ini dibagi rata di antara seluruh penduduk, termasuk bayi yang baru lahir, setiap individu akan menanggung beban utang sekitar 7-8 juta rupiah. Namun, banyak di antara dana utang tersebut yang dikorup oleh pejabat-pejabat tertentu.
Sebagai pelaksana wewenang negara, pemerintah memiliki mandat untuk mengurus keperluan rakyat dan melindungi hak-haknya. Kemaslahatan rakyat seharusnya menjadi acuan utama dalam setiap kebijakan dan tindakan pemerintah, sesuai dengan prinsip fiqih yang menyatakan bahwa pengelolaan urusan rakyat harus berorientasi pada kepentingan mereka.
Aturan mengenai utang piutang telah termaktub dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 282, menunjukkan betapa seriusnya masalah ini, tidak hanya dalam konteks kehidupan dunia tetapi juga di akhirat.
Terkait dengan beban utang, terdapat beberapa hadits Nabi Muhammad SAW yang perlu diperhatikan. Pertama, beliau tidak mau menshalatkan jenazah seseorang yang masih memiliki utang (HR al-Bukhari). Kedua, pahala orang yang meninggal dunia akan tertunda hingga utangnya dilunasi (HR. Turmudzi). Ketiga, pada hari kiamat, utang akan dibayar dengan pahala kebaikan; jika pahala sudah habis sementara penagih masih menunggu, maka dosa akan dipikul oleh si pengutang (HR al-Bukhari). Keempat, Allah SWT akan mengampuni semua dosa orang yang mati syahid, kecuali masalah utang (HR Muslim).
Lantas, bagaimana hubungan antara utang negara dan utang pribadi warga? Siapakah yang bertanggung jawab untuk melunasinya? Mengenai hal ini, penjelasan Izuddin bin Abdis Salam menunjukkan bahwa tanggung jawab ada pada negara jika utang tersebut digunakan untuk kepentingan umum. Namun, untuk utang negara yang dikorup oleh pejabat dan kroninya, seharusnya negara bertanggung jawab dengan menarik kembali dana dari mereka yang melakukan korupsi.
Dalam konteks utang seseorang yang meninggal dunia, jika ia memiliki alasan yang sah untuk menunda pelunasan utangnya hingga meninggal, maka tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa ia tidak berdosa. Sebaliknya, jika ia berniat buruk dalam menunda pembayaran utangnya, maka ia akan menanggung dosa. Jika seseorang berutang untuk memenuhi kewajiban atau hal yang dibolehkan dan tidak lalai dalam pelunasannya, maka ia tidak berdosa.
Sabda Nabi SAW bahwa “Diri seorang mukmin tergantung dengan utangnya sampai dilunasi” berarti ada dua makna. Pertama, tergantung dengan hukuman dan siksaan, yang tidak berlaku pada Muslim yang tidak berdosa dengan utangnya. Kedua, pahala amal baiknya akan diambil untuk mengganti utang-utangnya jika ia berutang untuk hal-hal yang dibolehkan.
Dengan demikian, penting bagi kita untuk memahami tanggung jawab terhadap utang negara dan bagaimana pengelolaannya seharusnya dilakukan demi kesejahteraan rakyat.