Menghormati tamu merupakan prinsip yang dianjurkan dalam Islam. Dalam salah satu hadits, dijelaskan bahwa penghormatan kepada tamu merupakan wujud dari keimanan seseorang. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam; hendaklah ia memuliakan tetangga; dan hendaklah ia memuliakan tamunya.” (Bukhari no. 6018, Muslim no. 47).
Ketika seorang tamu datang dengan niatan berta’ziyah atau berbela sungkawa karena kematian anggota keluarga, tata cara penghormatannya harus disesuaikan dengan situasi berkabung. Menghormati tamu dalam keadaan duka seharusnya dilakukan dengan penuh kesederhanaan dan keperhatian. Ini berbeda dengan menjamu tamu dalam acara pesta, seperti walimatul urusy atau walimatul khitan.
Sayangnya, di beberapa masyarakat, tradisi berkabung sering kali disalahartikan menjadi sebuah pesta, dengan menyembelih hewan atau menyajikan makanan dalam porsi besar. Hal ini menyebabkan suasana duka menghilang dan fungsi ta’ziyah sebagai pengingat akan kematian tidak tercapai. Selain itu, hal ini dapat membebani keluarga yang ditinggalkan, terutama jika mereka berasal dari kalangan kurang mampu.
Masyarakat juga sering kali mengadakan peringatan kematian dengan berbagai suguhan saat tahlil selama seminggu. Padahal, menyediakan makanan dalam konteks tersebut bukanlah kewajiban dan tidak harus dilakukan. Banyak tradisi, seperti telung dino (peringatan hari ketiga kematian) dan mitung dino (peringatan hari ketujuh kematian), sering kali diiringi dengan hidangan yang berlimpah. Hal ini perlu diluruskan, karena peringatan kematian seharusnya mengikuti anjuran syariat Islam dan tidak terjebak pada perkembangan tradisi yang kurang relevan.
Jika ada keyakinan bahwa hidangan harus disajikan pada hari ketiga atau ketujuh kematian, hal ini bisa berpotensi menjadi makruh. Meskipun hukum makruh tidak menghilangkan pahala sedekah, pemahaman yang keliru perlu diperbaiki agar tidak jatuh pada kesalahan.
Dalam diskusi mengenai tradisi yang dilakukan setelah kematian, Imam Ibnu Hajar menjelaskan bahwa berbagai kebiasaan tersebut termasuk bid’ah yang tidak baik, meskipun tidak sampai pada derajat haram. Penting untuk diingat bahwa saat menghormati tamu yang bertakziyah, tidak perlu memaksakan diri untuk menyajikan hidangan yang berlebihan. Tamu biasanya memahami kondisi tuan rumah yang sedang berkabung.
Harta yang digunakan untuk menjamu tamu tidak boleh diambil dari tirkah (warisan) sebelum dibagikan. Tirkah yang belum dibagikan harus dijaga utuh, karena ada kemungkinan sebagian ahli waris tidak setuju jika harta tersebut digunakan sebelum dibagikan. Dengan cara ini, kita dapat menghormati tamu sekaligus menjaga hak-hak ahli waris sesuai dengan ajaran Islam.