Islam sebagai agama memiliki dua aspek penting, yaitu hubungan antara manusia dengan Tuhan (hablum minallah) dan hubungan sosial antar manusia (hablum minan nas). Salah satu isu yang sering terabaikan dalam konteks sosial adalah penggunaan tanah kuburan milik umum yang sangat terbatas. Banyak orang memahami tanah kuburan umum sebagai milik keluarga, terutama ketika mereka merasa telah membayar untuk penguburan atau mengikuti tradisi lokal. Akibatnya, sering ditemukan upaya untuk merenovasi batu nisan dan kijing ketika dianggap sudah rusak atau usang, meskipun sebenarnya tanah tersebut adalah milik umum.
Renovasi permanen pada kuburan dapat menghalangi orang lain untuk menguburkan jenazah di tempat yang sama, sehingga mempersempit ruang yang seharusnya dapat digunakan oleh banyak orang. Dalam hal ini, seorang kyai pernah berwasiat kepada anak cucunya agar tidak menggunakan batu nisan atau kijing permanen saat dikuburkan di tempat umum. Ia menyarankan untuk menandai kuburan dengan kayu yang akan cepat hancur, sehingga lahan kuburan dapat digunakan kembali di masa mendatang.
Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana hukum memperbaharui nisan dan kijing di tanah kuburan umum? Dalam kitab Nihayatul Muhtaj oleh Syamsudin ar-Ramli dan Fathul Wahab oleh Syikhul Islam Zakariya al-Anshari, dijelaskan bahwa segala usaha yang menghalangi pemanfaatan fasilitas umum dilarang dalam agama. Oleh karena itu, memperbarui atau membuat perangkat kuburan yang permanen hukumnya haram, terutama jika jenazah yang ada di dalam kubur telah rusak. Para ahli sepakat bahwa sebuah jenazah bisa bertahan antara 15 hingga 25 tahun, bahkan bisa sampai 70 tahun, tergantung pada iklim daerah.
Dalam kitab Nihayatul Muhtaj tercantum penjelasan bahwa menggali kembali jenazah yang telah hancur tidak diharamkan, tetapi membangun atau meratakan tanah di atasnya adalah haram jika itu menghalangi orang lain untuk menguburkan jenazah lain. Hal ini karena orang-orang mungkin beranggapan bahwa jenazah sebelumnya belum hancur. Begitu juga dalam Fathul Wahab yang menegaskan bahwa tidak ada larangan untuk menggali jenazah yang sudah hancur, namun membangun atau meratakan tanah di atasnya adalah dilarang agar tidak menghalangi penguburan jenazah lainnya.
Dengan demikian, penting bagi masyarakat untuk memahami hakikat penggunaan tanah kuburan umum dan menjaga agar fasilitas tersebut tetap dapat dimanfaatkan oleh semua orang.