- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Tidur di Masjid: Antara Kebijakan dan Kearifan Fiqh

Google Search Widget

Masjid merupakan tempat yang sering dikunjungi oleh umat Muslim. Namun, belakangan ini, kita sering menemukan aturan ‘Dilarang Tidur di Dalam Masjid’ yang diterapkan di berbagai masjid. Aturan ini sering kali ditetapkan secara sepihak oleh pengurus masjid, bahkan ada yang berasal dari oknum tertentu. Dengan adanya larangan ini, sulit untuk mengabaikannya, terlebih lagi ketika peringatan tersebut dicetak dengan huruf besar dan tebal pada kertas folio yang dipasang di berbagai sudut masjid.

Pengurus masjid mungkin memiliki niat baik dalam menerapkan kebijakan ini, seperti menjaga kebersihan dan keheningan masjid dari suara dengkuran atau liur orang yang tidur, serta menghindari pencurian barang-barang seperti mikrofon atau pengeras suara oleh pihak yang berpura-pura tidur. Namun, perlu ditinjau lebih lanjut mengenai sumber hukum dari larangan tersebut.

Dari perspektif fiqh, sebenarnya tidak ada masalah untuk tidur di masjid bagi orang yang tidak dalam keadaan junub, meskipun mereka sudah berkeluarga. Sejarah mencatat bahwa Ash-habus Shuffah, sekelompok sahabat yang hidup zuhud dan fakir, tidur dan tinggal di masjid pada masa Rasulullah SAW. Tindakan tersebut menjadi haram jika tidur mereka mengganggu ruang gerak orang yang sedang beribadah. Dalam hal ini, kita diwajibkan untuk menegur mereka. Selain itu, disunahkan juga untuk menegur orang yang tidur di saf pertama atau di depan orang yang tengah bersembahyang.

Pandangan fiqh ini mencerminkan bagian dari sejarah perjalanan kemanusiaan Rasulullah SAW. Agama memberikan toleransi bahkan untuk mereka yang ingin beristirahat, baik dalam waktu singkat seperti siang hari bagi para pekerja atau malam hari bagi para pelancong. Toleransi tersebut bisa saja berlaku tanpa batasan waktu, sebagaimana perlakuan Rasulullah terhadap Ash-habus Shuffah.

Oleh karena itu, larangan untuk tidur di masjid seharusnya hanya diterapkan jika individu tersebut dalam keadaan hadats besar atau jika kehadirannya mengganggu ruang gerak orang yang beribadah. Ukuran ruang yang dibutuhkan untuk shalat hanya sekitar 75 cm x 1 meter, yang sudah cukup memadai bagi masyarakat Indonesia untuk melaksanakan ibadah. Apabila pengurus masjid ingin memberlakukan larangan ini, sebaiknya mereka menyediakan ruang lain di masjid untuk digunakan sebagai tempat istirahat.

Dengan demikian, kebijakan pengurus masjid seharusnya tidak menghambat langkah dakwah Islam dan tetap menghormati kebutuhan umat untuk beristirahat di tempat suci tersebut.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

April 15

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?