Mencium tangan para ulama merupakan tindakan yang dianjurkan dalam agama, sebagai bentuk penghormatan kepada mereka. Dalam sebuah hadits, dijelaskan bahwa ketika delegasi suku Abdil Qais tiba di Madinah, mereka segera turun dari kendaraan dan mengecup tangan serta kaki Nabi Muhammad SAW.
Dari Zari’, yang menjadi salah satu delegasi tersebut, disebutkan: “Ketika sampai di Madinah kami bersegera turun dari kendaraan kita, lalu kami mengecup tangan dan kaki Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam” (HR Abu Dawud).
Hadits lain juga mencatat bahwa Anas bin Malik pernah ditanya apakah ia pernah memegang Nabi dengan tangannya. Anas menjawab, “Ya,” dan kemudian Ibnu Jad’an mencium tangan Anas (HR Bukhari dan Ahmad). Jabir radliyallahu ‘anh juga menceritakan bahwa Umar pernah mencium tangan Nabi (HR Ibnu al-Muqarri).
Selain itu, Abi Malik al-Asyja’i mengisahkan bahwa ia meminta Ibnu Abi Aufa untuk mengulurkan tangan yang pernah membai’at Rasulullah, dan setelah itu ia menciumnya (HR Ibnu al-Muqarri). Shuhaib juga mengungkapkan bahwa ia melihat Ali mencium tangan dan kaki sahabat Abbas (HR Bukhari).
Berdasarkan hadits-hadits tersebut, para ulama menetapkan hukum sunah mencium tangan ulama, guru, orang shalih, serta orang-orang yang dihormati karena agama mereka.
Pendapat ulama mengenai tradisi ini antara lain:
- Ibnu Hajar al-Asqalani mengutip pendapat Imam Nawawi yang menyatakan bahwa mencium tangan seseorang karena zuhud, kebaikan, ilmu, atau kedudukan dalam agama adalah perbuatan yang tidak dimakruhkan dan bahkan disunahkan.
- Imam al-Zaila’i menambahkan bahwa mencium tangan seorang ulama atau orang yang wira’i dibolehkan untuk mengharapkan barakah.
Tradisi mencium tangan kiai dan ulama ini mencerminkan rasa hormat dan penghargaan terhadap ilmu dan budi pekerti yang mereka miliki.
