Puji-pujian yang didendangkan di mushalla, langgar, atau masjid merupakan bentuk nyanyian puitis yang sarat dengan nuansa keagamaan. Kegiatan ini biasanya dilakukan secara bersama-sama oleh para jemaah menjelang shalat Subuh, Dzhur, Ashar, Maghrib, atau Isya, sambil menanti kehadiran anggota masyarakat lain yang ingin melaksanakan shalat berjamaah. Puji-pujian ini dapat menggunakan bahasa Arab maupun bahasa daerah. Dengan susunan yang ritmis, puji-pujian ini mudah dihafal dan menyebar dari satu mushalla atau masjid ke yang lainnya.
Sebelum memulai puji-pujian, jemaah biasanya diawali dengan salawatan atau membaca shalawat Nabi, serta puji-pujian kepada Nabi Muhammad SAW. Meskipun puji-pujian tersebut berbahasa Jawa, shalawat Nabi tetap menjadi pembuka yang penuh keutamaan. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a., Nabi SAW bersabda bahwa membaca shalawat dapat membersihkan dosa dan meminta kepada Allah untuk wasilah. Wasilah tersebut adalah satu derajat tertinggi di sorga yang tidak akan dicapai kecuali oleh satu orang, dan Nabi berharap semoga beliaulah yang menjadi orang tersebut.
Puji-pujian ini dikenal luas melalui kalangan pesantren dan dipercaya diperkenalkan oleh para Walisongo, penyebar agama Islam di Pulau Jawa. Pendekatan yang digunakan oleh Walisongo dalam menyebarkan agama Islam bersifat persuasif dan sesuai dengan adat serta budaya masyarakat pada waktu itu. Salah satu contoh adalah Sunan Giri yang menciptakan Asmaradana dan Pucung, serta tembang-tembang dolanan anak-anak yang mengandung unsur keislaman seperti Jamuran dan Cublak-cublak Suweng.
Selain Sunan Giri, terdapat pula Sunan Bonang yang menciptakan karya sastra bernama Suluk. Suluk berasal dari bahasa Arab “Salakattariiqa”, yang berarti menempuh jalan tasawuf atau tarikat. Ajaran Suluk biasanya disampaikan dengan sekar atau tembang, sedangkan penjelasannya dalam bentuk prosa disebut Wirid. Salah satu Suluk Wragul dari Sunan Bonang yang terkenal adalah Dhandanggula. Beberapa masyarakat yang mengenal tarikat meyakini bahwa teks puji-pujian diciptakan oleh para pemimpin tarikat dan Syekh Abdul Qadir Jailani.
Puji-pujian yang diperdengarkan di mushalla berisi shalawatan, do’a-do’a mustajabah, dan petuah hidup. Karya-karya tersebut kental dengan ajaran Tasawuf.
Obat Hati Lima Perkara
Pedoman hidup umat Muslim terletak pada Al-Qur’an dan Al-Hadits, yang diturunkan Allah melalui utusan-Nya, Nabi Muhammad SAW. Dengan adanya kedua sumber ini, jalan lurus yang harus ditempuh manusia serta aliran yang benar untuk memahami hukum menjadi jelas. Ini juga berfungsi sebagai pemisah antara halal dan haram. Al-Qur’an dan Hadits berperan sebagai cahaya yang cemerlang, menjaga manusia dari tipuan, serta mengandung penawar untuk hati dan jiwa yang sakit.
Dalam teks puji-pujian, terdapat lima hal yang dianggap sebagai obat bagi hati manusia: (1) membaca Al-Qur’an dengan memahami maknanya; (2) memperbanyak shalat malam; (3) berkumpul dengan orang Shaleh; (4) mampu menahan lapar atau berpuasa; dan (5) memperbanyak dzikir di malam hari. Kutipan berikut menggambarkan obat hati tersebut:
Tombo ati iku limo sak wernane
Kaping pisan maca Qur’an sak maknane
Kaping pindu shalat wengi lakonono
Kaping telu wong kang shaleh kumpulono
Kaping papat kudu weteng engkang luwe
Kaping limo dzikir wengi engkang sue
Syair obat hati ini diakhiri dengan harapan:
Insya Allah Gusti Allah ngijabahi
Insya Allah, Allah mengabulkan
Mengingat Kematian
Setiap makhluk hidup pasti akan mati, termasuk manusia. Oleh karena itu, salah satu puji-pujian mengingatkan kita akan datangnya kematian. Teksnya berbunyi:
Ilingono para timbalan
Timbalane ora keno wakilan
Timbalane kang maha mulya
Gelem ora bakal lunga
Panggilan yang dimaksud adalah panggilan dari Yang Maha Kuasa, dan tidak ada satupun yang bisa menghalanginya. Harta, tahta, atau kerabat tidak akan mampu menghentikannya. Panggilan ini mengingatkan kita untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatan selama hidup. Selama masih hidup, kita harus selalu ingat dan takut hanya kepada Allah agar senantiasa berhati-hati dan berusaha berada di jalan yang benar.
Gambaran orang yang telah mati dalam teks puji-pujian adalah sebagai berikut:
Klambine diganti putih
Nek budal ora bisa mole
Tumpak ane kereto jowo
Roda papat rupa menongsa
Oma e rupa goa
Ora bantal ora keloso
Omah e gak nok lawange
Turu ijen gak nok rewange
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Tirmidzi, Rasulullah SAW bersabda untuk memperbanyak mengingat kematian karena dapat melebur dosa dan mendorong kita untuk berzuhud. Orang yang paling cerdik adalah mereka yang paling banyak mengingat kematian dan mempersiapkan dirinya untuk menghadapinya.
Ajaran Tasawuf juga mendorong kita untuk melakukan zuhud sebagai cara mendekatkan diri kepada Allah. Menurut Imam Ahmad bin Hambal, zuhud dibagi menjadi tiga: (1) meninggalkan yang haram; (2) meninggalkan sesuatu yang tak berguna dari yang halal; dan (3) meninggalkan hal-hal yang bisa memalingkan diri dari Allah SWT.