Masyarakat seringkali memiliki pandangan bahwa doa untuk orang yang telah meninggal tidak sampai kepada mereka, disebabkan pemahaman yang terlalu harfiah terhadap dalil-dalil tertentu tanpa mengaitkannya dengan dalil lainnya. Anggapan ini mengarah pada kesimpulan bahwa doa, bacaan Al-Qur’an, shadaqoh, dan tahlil yang dilakukan oleh orang hidup tidak bermanfaat bagi orang yang telah wafat. Namun, dalam Al-Qur’an, Allah SWT menjelaskan bahwa orang yang sudah meninggal tetap dapat menerima manfaat dari doa yang dipanjatkan oleh orang yang masih hidup. Salah satu ayat yang mendukung hal ini adalah:
“Dan orang-orang yang datang setelah mereka, berkata: Yaa Tuhan kami, ampunilah kami dan ampunilah saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan beriman.” (QS Al-Hasyr 59: 10)
Ayat ini menunjukkan bahwa doa dari generasi berikutnya bisa sampai kepada generasi pendahulunya yang telah meninggal. Lebih lanjut, dalam kitab “At-Tawassul” karya As-Syaikh Albani, disebutkan bahwa bertawassul yang diizinkan dalam syara’ mencakup tawassul dengan nama dan sifat-sifat Allah, amalan soleh, serta doa orang-orang shaleh.
Mukjizat para nabi, karomah para wali, dan ma’unah para ulama juga tidak terputus setelah kematian mereka. Dalam kitab Syawahidu al Haq, Syeikh Yusuf Ibn Ismail an-Nabhani menjelaskan:
“Boleh bertawassul dengan mereka (para nabi dan wali) untuk memohon kepada Allah SWT dan boleh meminta pertolongan dengan perantara para Nabi, Rasul, para ulama, dan orang-orang shalih setelah mereka wafat, karena mukjizat para Nabi dan karomah para wali itu tidaklah terputus sebab kematian.”
Berdasarkan hukum syara’, banyak dalil yang menerangkan bahwa pahala dari bacaan atau amal baik yang dilakukan oleh keluarga atau orang lain dapat sampai kepada si mayit. Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Dr. Ahmad as-Syarbashi dalam kitabnya menyebutkan:
“Sungguh para ahli fiqh telah berargumentasi atas kiriman pahala ibadah itu dapat sampai kepada orang yang sudah meninggal dunia, dengan hadist bahwa sesungguhnya ada salah seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah saw: Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami bersedekah untuk keluarga kami yang sudah mati, kami melakukan haji untuk mereka dan kami berdoa bagi mereka; apakah hal tersebut pahalanya dapat sampai kepada mereka? Rasulullah saw bersabda: Ya! Sungguh pahala dari ibadah itu benar-benar akan sampai kepada mereka dan sesungguhnya mereka itu benar-benar bergembira dengan kiriman pahala tersebut, sebagaimana salah seorang dari kamu sekalian bergembira dengan hadiah apabila hadiah tersebut dikirimkan kepadanya!”
Terkait dengan jamuan yang biasa diadakan ketika ada orang meninggal, hukumnya boleh (mubah), dan mayoritas ulama sepakat bahwa memberi jamuan merupakan ibadah yang terpuji dan dianjurkan. Dari sudut pandang jamuan tersebut, ia juga termasuk sedekah yang dianjurkan oleh Islam yang pahalanya dapat dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal. Selain itu, ada tujuan lain di balik jamuan tersebut yaitu menghormati tamu, bersabar menghadapi musibah, serta tidak menampakkan rasa susah dan gelisah kepada orang lain.
Ketiga hal tersebut—doa, sedekah, dan memberi jamuan—merupakan ibadah dan perbuatan taat yang diridhai oleh Allah SWT. Syaikh Nawawi dan Syaikh Isma’il menyatakan bahwa bersedekah untuk orang yang telah meninggal dunia adalah sunnah (matlub), tetapi hal ini tidak harus dikaitkan dengan hari-hari tertentu yang telah menjadi tradisi di suatu komunitas masyarakat.
“Memberi jamuan secara syara’ (yang pahalanya) diberikan kepada mayyit dianjurkan (sunnah). Acara tersebut tidak terikat dengan waktu tertentu seperti tujuh hari. Memberi jamuan pada hari ketiga, ketujuh, kedua puluh, keempat puluh, dan tahunan dari kematian mayyit merupakan kebiasaan (adat) saja.”
Dengan demikian, praktik doa, sedekah, dan memberi jamuan bagi orang yang telah meninggal bukan hanya diperbolehkan, tetapi juga dianjurkan dalam syariat Islam sebagai bentuk penghormatan dan kepedulian terhadap mereka.