Al-Qur’an dan Hadits merupakan sumber utama syariat Islam yang mengandung ajaran universal untuk menjawab berbagai problematika umat, di mana pun dan kapan pun. Namun, bukan berarti semua masalah telah dirinci secara mendetail dalam kedua sumber tersebut. Dengan perkembangan zaman, fenomena baru akan terus muncul, sementara nash-nash yang ada tetap terbatas.
Contoh yang jelas dari ketentuan syariat adalah shalat. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman dalam QS. An-Nur: 56, “Tunaikanlah Shalat!” Banyak ayat dan hadits yang menegaskan kewajiban shalat, menjadikannya bagian terpenting dalam Islam. Allah SWT menegaskan bahwa tidak ada hukuman mati bagi mereka yang meninggalkan rukun Islam, kecuali shalat. Jika seseorang meninggalkannya karena benci atau tidak percaya pada kewajibannya, maka ia dihukumi murtad.
Setiap Muslim wajib melaksanakan shalat lima kali sehari. Ketentuan ini telah diatur dengan jelas dalam syariat. Rasulullah SAW memberikan teladan dalam tata cara shalat, seperti yang disebutkan dalam hadits: “Shalatlah sebagaimana kalian melihat cara shalatku” (H.R. Bukhari).
Selain itu, Allah juga melarang memakan bangkai, darah, dan daging babi, seperti tercantum dalam QS. Al-Ma’idah: 3. Ini adalah contoh hukum yang sudah jelas dan tegas. Jika ditanya tentang hukum shalat, jawabannya adalah wajib. Sedangkan hukum memakan bangkai adalah haram.
Namun, bagaimana dengan hal-hal yang belum ada ketentuannya? Dalam kaidah fikih, dikatakan bahwa asal dari segala sesuatu adalah mubah. Dalam QS. Maryam: 64, Allah berfirman bahwa segala sesuatu yang ada di depan dan belakang kita, serta yang belum pernah terjadi, adalah atas kehendak-Nya.
Dalam riwayat Ibnu Abbas RA, terdapat kisah ketika Rasulullah SAW bertanya tentang hewan biawak. Setelah mendapat informasi tentang hewan tersebut, Rasulullah SAW menjelaskan bahwa hewan itu tidak diharamkan, tetapi juga belum pernah ada dalam lingkungan mereka. Sehingga, hal-hal yang belum ditemukan bisa ditolerir (HR. Bukhari & Muslim).
Meskipun banyak fenomena baru yang tidak tercatat dalam Al-Qur’an dan Hadits, keduanya memberikan pedoman umum bahwa sesuatu yang belum mendapatkan legitimasi hukum dari kedua sumber tersebut hukumnya mubah. Artinya, tidak diperintahkan dan tidak dilarang; keputusan diserahkan kepada maslahat umat. Jika sesuatu memberikan manfaat positif, maka dianjurkan; sebaliknya, jika memberikan dampak negatif, maka dilarang.
Rasulullah SAW juga menegaskan pentingnya mengikuti kewajiban dan larangan yang telah ditetapkan Allah SWT dan tidak mencari-cari hukum di luar itu (HR. Daruquthni). Dalam konteks ini, Salman RA menyatakan bahwa segala sesuatu yang belum mendapatkan legitimasi hukum bisa ditolerir (HR. Baihaqi).
Ketika sahabat Ali bertanya tentang hal-hal yang tidak tercantum dalam Al-Qur’an atau Hadits, Rasulullah SAW menyarankan untuk bermusyawarah dengan orang-orang berilmu dan beriman (HR. At-Thabrani). Imam Ghazali menekankan pentingnya merujuk kepada ulama ketika menghadapi masalah baru dan menjelaskan bahwa ulama memiliki peran penting sebagai petunjuk.
Ibnu Ajibah juga mengutip prinsip serupa dalam tafsirnya, menekankan pentingnya kembali kepada para ulama untuk mencari solusi terbaik ketika menghadapi permasalahan yang tidak ada di kitab Allah atau Sunah Rasulullah.
Dengan demikian, segala sesuatu yang belum terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits perlu diserahkan kepada para ulama untuk dilakukan ijtihad sesuai dengan keadaan dan maslahat masyarakat setempat. Hal ini penting agar tidak terjadi pengkategorian bid’ah terhadap hal-hal baru yang bermanfaat bagi umat. Ulama mujtahid memiliki kompetensi untuk memberikan panduan berdasarkan pengetahuan mereka.