- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Ketentuan Mengqadha Shalat

Google Search Widget

Para mukallaf atau individu yang dibebani kewajiban agama diharuskan untuk mengganti atau mengqadha shalat yang ditinggalkan, dan disarankan untuk melakukannya segera. Para ulama menjelaskan bahwa jika seseorang tidak melaksanakan shalat tanpa adanya udzur, maka ia wajib melaksanakan shalat tersebut secepatnya. Bahkan, ia diharamkan melakukan amalan sunah hingga melaksanakan shalat yang ditinggalkan. Sebaliknya, jika seseorang tidak melaksanakan shalat karena adanya udzur, maka mengqadha shalat tersebut hukumnya hanya sunnah.

Terkait urutan dalam mengqadha shalat yang ditinggalkan, para ulama menguraikan sebagai berikut: Pertama, disunahkan untuk tertib jika tidak melaksanakan shalat karena udzur. Sebagai contoh, jika seseorang tertidur sebelum waktu dhuhur dan bangun pada waktu shalat isya’, maka ia meninggalkan shalat dhuhur, ashar, dan maghrib. Dalam hal ini, disunahkan untuk mendahulukan shalat dhuhur atas ashar dan mendahulukan shalat ashar atas maghrib.

Kedua, wajib tertib jika shalat yang ditinggalkan tidak disebabkan oleh udzur. Misalnya, jika seseorang meninggalkan shalat dhuhur dan ashar tanpa alasan yang sah, seperti malas atau tidur setelah masuk waktu shalat, maka ia wajib mendahulukan shalat dhuhur atas shalat ashar saat mengqadha.

Imam Romli berpendapat bahwa mentertibkan shalat yang ditinggalkan hukumnya sunnah secara mutlak, baik ditinggalkan karena ada udzur maupun tidak. Pendapat ini juga dipilih oleh Syaikh Zainuddin Al-Mulaibari dalam kitabnya Qurratul Ain bi Muhimmatid Din.

Ketentuan lain dalam mengqadha shalat adalah mendahulukan shalat yang ditinggalkan atas shalat yang masih dalam waktu. Jika shalat yang ditinggalkan dilakukan karena udzur dan tidak khawatir akan keluar dari waktunya, maka boleh mendahulukan shalat tersebut. Namun, jika khawatir shalat yang masih dalam waktu akan keluar waktunya, maka wajib mendahulukan shalat yang masih dalam waktu.

Mengenai orang yang meninggal dunia dan masih memiliki tanggungan shalat, para ulama Syafi’iyyah memiliki pandangan berbeda. Pendapat pertama menyatakan bahwa tidak wajib mengqadha atau membayar fidyah karena urusan di dunia sudah selesai dan segala amalnya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Pendapat kedua menyatakan bahwa wajib melakukan qadha sebagai ganti bagi shalat mayit. Pendapat ini lebih banyak dipilih oleh imam di kalangan Syafi’iyyah, termasuk Imam As-Subki yang melakukannya untuk sebagian kerabatnya yang telah meninggal.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

December 23

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?