- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Tugas Seorang Bilal

Google Search Widget

Setiap kali kita mendengar nama “Bilal,” konotasinya seringkali merujuk pada sahabat terkenal di zaman Nabi Muhammad SAW. Ia dikenal sebagai “kekasih” Rasulullah yang memiliki tugas utama mengumandangkan adzan setiap shalat. Namun, Bilal yang dimaksud di sini bukanlah Bilal Muadzin Rasulullah, melainkan seorang yang bertugas sebagai pemberi aba-aba, lebih tepatnya penyambung suara imam.

Ketika shalat atau khotbah akan dilaksanakan, Bilal adalah orang yang menyampaikan kepada jamaah dengan kata-kata khas. Pada hari Jum’at, kita bisa menyaksikan saat imam akan naik mimbar, Bilal akan memberikan aba-aba agar jamaah tenang dan mendengarkan khotbah dengan sungguh-sungguh. Bilal juga mengingatkan bahwa siapa pun yang berbicara atau menegur temannya dengan suara yang dapat mengganggu ketenangan akan kehilangan pahala Jum’atannya, meskipun menggunakan bahasa Arab yang terkadang sulit dipahami.

Dalam kitab I’anatut Thalibin dijelaskan bahwa Bilal memanggil jamaah seperti pada shalat sunnah lainnya: shalat Hari Raya, Tarawih, Witir, dan shalat Gerhana. Biasanya, ia memanggil jamaah dengan kalimat “ash-shalah” atau “Halumma ilash-shaah” (mari shalat), sedangkan menggunakan kalimat “Hayya alash-shalah” dianggap kurang tepat (makruh).

Berbeda halnya dengan shalat jenazah, di mana Bilal tidak diperlukan karena para takziyah (pelawat) tidak membutuhkannya. Namun, jika jumlah pelawat sangat banyak dan mereka tidak tahu kapan imam datang untuk melakukan shalat, maka sunnah Bilal bisa dilaksanakan.

Menurut kitab Nihayatus Zain, Bilal juga diadakan setiap dua rakaat shalat Tarawih. Tugas Bilal juga berlaku untuk shalat sunnah yang tidak disunnahkan berjamaah (meskipun biasanya dilaksanakan dengan jamaah, seperti shalat Dhuha). Sementara itu, shalat sunnah yang tidak disunnahkan berjamaah dan dilakukan sendiri-sendiri tentu tidak memerlukan Bilal.

Bilal biasanya mengajak para jamaah dengan menggunakan bahasa Arab. Dalam sebuah hadis, Rasulullah bersabda: “Siapa berbicara dengan bahasa Arab, itu tercatat sebagai dzikir.” (I’anatuth Thalibin, Juz I, hlm 154)

Seorang imam ketika membaca takbir intiqal (takbir untuk perpindahan rukun shalat) disunnahkan untuk bersuara keras. Begitu juga dengan Bilal saat menyampaikan aba-aba. Hal ini bertujuan untuk dzikir dan agar dapat didengar oleh makmum lainnya (Nihayatuz Zain, hlm 141).

Menyelenggarakan Muraqqi (Bilal) sebenarnya adalah hal baru atau bid’ah, karena pada zaman Rasulullah hal semacam ini tidak ada. Namun, ini termasuk “bid’ah hasanah” (bid’ah yang baik) karena membaca ayat-ayat Al-Qur’an dapat mendatangkan gairah dan semangat cinta kepada Rasulullah SAW, terutama di masa-masa seperti sekarang ini.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

November 22

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?