Berdirinya suatu negara merupakan keharusan dalam komunitas umat Islam. Negara bertujuan untuk mengayomi kehidupan umat, melayani mereka, serta menjaga kemaslahatan bersama (maslahah musytarakah). Dalam pandangan Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja), kewajiban ini tergolong fakultatif (fardhu kifayah). Artinya, jika sebagian umat sudah berupaya mendirikan negara, gugurlah kewajiban bagi yang lainnya.
Konsep berdirinya negara (imamah) dalam Aswaja tidak dianggap sebagai salah satu pilar keimanan, berbeda dengan keyakinan Syi’ah. Namun, Aswaja tetap mengakui pentingnya pengaturan oleh umat. Hal ini berbeda dengan pandangan Khawarij yang memperbolehkan umat Islam hidup tanpa seorang Imam jika mereka mampu mengatur diri sendiri.
Aswaja tidak menetapkan patokan baku mengenai bentuk negara. Negara diberi kebebasan untuk menentukan sistem pemerintahannya, apakah itu demokrasi, kerajaan, teokrasi, atau bentuk lainnya. Aswaja hanya memberikan kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu negara. Selama persyaratan tersebut terpenuhi, maka negara itu dapat diterima sebagai pemerintahan yang sah, tanpa mempedulikan bentuknya. Sebaliknya, meskipun suatu negara mengusung bendera Islam, jika terjadi penyimpangan dari kriteria yang ditetapkan, maka praktik tersebut tidak dibenarkan.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh suatu negara antara lain:
- Prinsip Syura (Musyawarah)
Prinsip ini berdasarkan pada firman Allah QS asy-Syura 42:36-39, yang menekankan pentingnya musyawarah dalam pengambilan keputusan. Musyawarah dianggap sebagai bagian integral dari iman dan Islam. - Al-‘Adl (Keadilan)
Menegakkan keadilan adalah suatu keharusan dalam Islam, terutama bagi penguasa dan pemimpin terhadap rakyat. Hal ini berdasarkan QS An-Nisa’ 4:58 yang menekankan pentingnya amanah dan keadilan dalam memimpin. - Al-Hurriyyah (Kebebasan)
Kebebasan dijamin bagi rakyat untuk melaksanakan hak-hak mereka. Hak-hak ini dikemas dalam lima prinsip pokok yang menjadi kebutuhan primer bagi setiap individu, yang mencakup perlindungan jiwa, agama, harta benda, identitas, dan martabat. - Al-Musawah (Kesetaraan Derajat)
Semua warga negara harus diperlakukan secara setara tanpa diskriminasi berdasarkan kasta, ras, jenis kelamin, atau agama.
Sistem pemerintahan yang mendekati kriteria di atas adalah sistem demokrasi, di mana kekuasaan sepenuhnya berada di tangan rakyat sebagai amanat dari Allah. Meskipun istilah “demokrasi” tidak ditemukan dalam Al-Qur’an atau wacana hukum Islam klasik, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sejalan dengan prinsip-prinsip yang harus ditegakkan dalam berbangsa dan bernegara menurut Aswaja.
Dalam era globalisasi ini, di mana kondisi politik dan kehidupan umat manusia mengalami perubahan mendasar, penting untuk menegakkan demokrasi. Dulu, perekonomian banyak bergantung pada harta rampasan perang, namun saat ini perekonomian lebih bersumber dari pajak dan pungutan lainnya. Perubahan pemikiran umat Islam juga perlu diakui dan dipahami dengan bijaksana.
Dengan demikian, pemekaran pemikiran umat Islam bukanlah hal yang sepele. Untuk tidak tertinggal oleh bangsa lain, umat Islam harus menerima transformasi pemikiran sepanjang tidak bertentangan dengan hal-hal yang sudah ditetapkan. Dalam konteks kehidupan berdemokrasi, umat Islam juga harus terbuka untuk menerima pemimpin dari kalangan non-muslim atau wanita.