Dalam setiap shalat, kita selalu membaca doa tahiyat akhir yang di dalamnya terdapat ungkapan:
اَلسَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ
“Assalamualika ayyuhan nabiy”, yang berarti salam kepada Nabi. Perlu dicatat bahwa ketika menyebut Nabi dalam shalat, kita menggunakan kata ganti كَ atau kata ganti orang kedua, bukan dlamir ghaib هُ atau dia. Dengan menyebut Nabi menggunakan kata “engkau”, seolah-olah Nabi Muhammad SAW hadir di hadapan kita.
Kesimpulan yang bisa diambil adalah bahwa doa yang dipanjatkan kepada Allah SWT dalam tahiyat akhir tidak akan diterima tanpa menyebut nama Muhammad SAW. Oleh karena itu, setelah mengucapkan “Alhamdulillah”, kita melanjutkan dengan membaca berbagai shalawat sebelum memasuki inti doa. Ini menunjukkan bahwa saat berdoa, kehadiran Nabi Muhammad SAW sangat diperlukan.
Pentingnya kehadiran Nabi Muhammad SAW dalam setiap doa juga tercermin dalam tradisi warga pesantren. Dalam acara aqiqah atau syukuran untuk bayi yang baru lahir, keluarga biasanya tidak akan mengeluarkan bayi sebelum momen mahallul qiyam, saat kita berdiri dan membaca:
يَا نَبِي سَلَامْ عَلَيْكَ يَا رَسُوْلْ سَلَامْ عَلَيْكَ
Di sini, kita menyapa Nabi dan Rasul dengan salam, seakan-akan beliau hadir pada saat itu. Ini menggambarkan urgensi ajaran tawashul kepada Nabi, yaitu memanjatkan doa dengan perantaraan Rasulullah SAW.
Ajaran ini telah ditransformasikan oleh para ulama pendahulu dan di Indonesia disampaikan kepada umat melalui organisasi Nahdlatul Ulama (NU).