Gaji pokok para bupati, gubernur, anggota dewan perwakilan rakyat, dan pejabat lainnya sering kali tidak cukup untuk menutupi biaya selama masa kampanye. Meskipun demikian, banyak yang tetap berminat untuk menjabat. Hal ini disebabkan oleh keyakinan para calon pejabat bahwa penghasilan di luar gaji pokok, yang kerap disebut sebagai “ceperan,” jauh lebih besar. Pendapatan ini biasanya berasal dari persenan atau fee yang diterima dari kontraktor yang menang tender, serta uang lembur dan tunjangan lainnya yang bisa melebihi gaji pokok.
Dalam kajian fiqh mengenai pendapatan di luar gaji pokok, belum ada penjelasan khusus dalam kitab-kitab mu’tabarah yang menjadi rujukan pesantren. Namun, Kitab Bughyatul Mustarsyidin menjelaskan bahwa gaji para hakim dan wakil rakyat yang berkontribusi untuk kemaslahatan umat diambil dari kas negara (baitul maal) dengan kadar yang wajar. Setelah menerima gaji, para pejabat tidak diperkenankan mengambil imbalan dari pihak-pihak yang sedang bertransaksi. Para hakim dilarang menerima suap (riswah), dan petugas nikah di KUA dilarang menerima pemberian dari pihak yang melangsungkan akad nikah.
Roudlotut Thalibin mengutip Syeikh Abu Hamid yang menyatakan bahwa jika kas negara tidak mencukupi untuk menggaji hakim, mereka diperbolehkan meminta rizki kepada pihak-pihak yang terlibat dalam masalah tersebut, tetapi hanya jika disepakati sebelum permasalahan disidangkan. Penjelasan serupa juga dapat ditemukan dalam kitab I’anatut Tholibin.
Isu penghasilan di luar gaji pokok sering dikaitkan dengan riswah atau suap. Dalam banyak pembahasan, riswah berbeda dengan hadiah. Imam Ghazali dalam kitab Ihya` Ulumiddin menegaskan bahwa pemberian tidak mungkin tanpa maksud tertentu. Pemberian yang ditujukan untuk mendekatkan diri atau memperoleh pengetahuan dianggap sebagai hadiah dan hukumnya mubah. Sebaliknya, jika pemberian bertujuan untuk mempengaruhi keputusan hakim atau kebijakan pemerintah, maka itu dianggap riswah.
Jika hadiah diberikan berkaitan dengan keputusan pengadilan, pencairan dana sosial, atau kebijakan pemerintah lainnya, dan tanpa maksud tersebut orang tidak akan memberikan hadiah, maka hal ini termasuk dalam kategori riswah meskipun tampak sebagai hadiah.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pendapatan yang diperoleh dari “main mata” dengan kontraktor berupa uang persenan adalah haram, meskipun ada undang-undang yang membenarkan praktik tersebut. Sedangkan pendapatan lain seperti gaji lembur atau fasilitas tambahan dari negara diperbolehkan selama sebanding dengan usaha yang dilakukan untuk mengurus rakyat dan mewujudkan kemaslahatan umat. Definisi sebanding ini ditentukan oleh adat atau berdasarkan rata-rata penghasilan masyarakat setempat, agar tidak melebihi upah minimum regional (UMR).