Penulisan ayat-ayat Al-Qur’an terkadang memerlukan pelengkap berupa gambar agar lebih mudah dipahami dan dapat mencerna maknanya dengan baik. Konsep visualisasi ini tentunya dilandasi oleh niat dan tujuan yang baik. Namun, perlu dicermati bahwa terdapat berbagai kemungkinan dan aspek yang harus ditinjau untuk menentukan hukum terkait visualisasi penulisan ayat-ayat Al-Qur’an.
Hukum visualisasi ini terbagi menjadi beberapa poin. Visualisasi tidak diperbolehkan jika bertentangan dengan syariat, membawa kemafsadatan, atau menimbulkan salah penafsiran. Contohnya adalah visualisasi terhadap ayat-ayat yang membahas wujud Allah SWT, gambar Rasulullah SAW, hubungan antara suami istri, dan zina.
Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abbas RA, Rasulullah SAW bersabda bahwa siapa pun yang berbicara mengenai ayat Al-Qur’an tanpa didasari pengetahuan yang cukup, maka ia akan mendapatkan tempatnya di neraka (HR Tirmidzi).
Di sisi lain, visualisasi diperbolehkan jika dapat memberikan manfaat, seperti meningkatkan pemahaman dan ingatan terhadap makna atau tafsir ayat-ayat yang divisualisasikan. Namun, visualisasi yang diperbolehkan tersebut harus dilakukan dengan cara yang terpisah dari penulisan ayat-ayat Al-Qur’an dalam mushaf. Ini penting agar tidak menyalahi praktik penulisan mushaf yang telah ada sejak zaman Nabi SAW dan menjaga kemuliaan Al-Qur’an.
Imam Baihaqi dalam kitab Sya’bul Iman menyebutkan bahwa mencampurkan ayat Al-Qur’an dengan hal lain adalah tidak diperkenankan untuk menjaga keagungan ayat-ayat tersebut. Beliau bahkan mengingatkan agar tidak menuliskan Al-Qur’an dengan simbol-simbol ejaan Arab atau merangkum kalimat dalam bentuk singkatan. Para ulama berpesan untuk mengagungkan Al-Qur’an dan menjaga agar tidak dicampur dengan hal-hal lain, termasuk menuliskannya dengan tinta emas.
Pernyataan ini diambil dari hasil bahtsul masail diniyah waqiiyyah dalam Rapat Kerja Nasional Lembaga Bahtsul Masa’il di Cibubur, Jakarta, pada bulan Oktober 2007.