Istilah qadha shalat merujuk pada kewajiban untuk melunasi shalat yang ditinggalkan, baik karena disengaja maupun tidak. Hal ini menunjukkan bahwa setiap individu memiliki tanggung jawab untuk memenuhi kewajiban shalatnya kepada Allah. Kewajiban ini setara dengan hutang lainnya, di mana yang bersangkutan harus menunaikannya.
Shalat yang ditinggalkan biasanya disebabkan oleh kelalaian. Dalam konteks ini, penting untuk diingat bahwa bahkan hutang kepada manusia saja harus dibayar, apalagi hutang kepada Allah. Meskipun Allah adalah Dzat Maha Pemaaf, hal ini tidak mengurangi kewajiban kita untuk melunasinya.
Para ulama sepakat bahwa qadha shalat merupakan kewajiban bagi mereka yang lupa atau tertidur. Rasulullah SAW menjelaskan bahwa tertidur bukanlah bentuk kelalaian. Jika seseorang lupa atau tertidur dan melewatkan shalat, maka ia harus melakukannya ketika teringat. Ini dijelaskan dalam kitab Fiqhus Sunnah.
Meskipun kita dapat mengganti shalat yang tertinggal di waktu lain, lebih baik jika dilakukan secepatnya. Misalnya, jika seseorang melewatkan shalat Subuh karena bangun kesiangan, sebaiknya ia melaksanakan shalat tersebut segera setelah bangun, misalnya pada pukul tujuh atau delapan pagi. Namun, shalat Subuh tetap dapat dilakukan pada waktu shalat lainnya seperti Zhuhur, Maghrib, atau Ashar.
Hal ini juga berlaku untuk shalat lainnya yang ditinggalkan. Terkait dengan apakah meninggalkan shalat merupakan dosa besar, hal ini tergantung pada alasan masing-masing individu. Jika alasan meninggalkan shalat adalah karena tertidur dan tidak ada yang membangunkan, Allah Maha Mengetahui situasi tersebut. Namun, jika alasannya berbeda, seperti tidak ada tempat duduk di angkutan umum atau situasi darurat lainnya, Allah juga mengetahui kondisi tersebut.
Shalat adalah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap Muslim dalam kondisi apapun. Jika tidak mampu berdiri, bisa dilakukan sambil duduk; jika tidak bisa duduk, bisa dikerjakan sambil berbaring; jika tidak bisa berbaring, dapat dilakukan dengan isyarat mata; dan jika tidak bisa isyarat mata, dilaksanakan dalam hati. Islam memberikan kemudahan dalam menjalankan syariatnya, meskipun sering kali kemudahan tersebut dianggap berat oleh mereka yang malas.
Dalam kasus individu yang meninggal dunia dengan masih memiliki hutang shalat karena sakit dan belum sempat membayarnya, ada dua cara untuk melunasi hutang tersebut. Pertama, keluarga bisa melunasi hutang tersebut; kedua, dapat membayar fidyah berupa 1 waktu shalat yang ditinggalkan sama dengan 6 ons beras atau makanan pokok lainnya. Keluarga harus memberikan 6 ons beras dikalikan 5 (waktu shalat) dikalikan dengan jumlah hari hutang.
Bagi orang yang meninggal dunia dan memiliki hutang shalat, tidak perlu diqadha oleh orang tersebut. Namun, menurut sebagian besar ulama Mujtahidin, keluarganya tetap memiliki kewajiban untuk membayar. Ada hadits riwayat Imam Bukhari yang mendukung pendapat ini, dan banyak ulama dari mazhab Syafi’i mengikuti pandangan ini.
Fatwa yang benar adalah mengeluarkan fidyah sebanyak 40 mud (1 mud = 6 ons) bagi yang telah meninggalkan shalat selama 8 hari, di mana seharusnya dia melaksanakan shalat lima kali sehari.