Pernikahan dini atau pernikahan di bawah usia belakangan ini menjadi topik hangat yang diperbincangkan, terutama setelah kasus Pujiono Cahyo Widianto alias Syeh Puji, seorang saudagar kaya di Semarang, yang menikahi seorang gadis berusia 12 tahun. Kasus ini menarik perhatian media setelah adanya gugatan dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Komnas Perempuan.
Dalam fikih atau hukum Islam, tidak terdapat batasan minimal usia pernikahan yang disepakati. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa wali atau orang tua dapat menikahkan anak perempuannya pada usia berapapun. Dengan kata lain, pernikahan Syeh Puji dianggap sah secara fikih.
Dasar dari pandangan ini sering kali merujuk kepada pernikahan Nabi Muhammad SAW dengan Siti Aisyah, yang menurut beberapa riwayat, dinikahkan pada usia 6 tahun dan mulai hidup bersama Nabi pada usia 9 tahun, sementara Nabi pada waktu itu telah berusia sekitar 50 tahun.
Namun, banyak ulama juga mempertimbangkan maslahat dalam praktik pernikahan dini dan memakruhkan (tidak disarankan) hal tersebut. Makruh berarti tindakan tersebut boleh dilakukan, tetapi lebih baik ditinggalkan. Anak perempuan yang masih kecil dianggap belum siap secara fisik maupun psikologis untuk menjalani peran sebagai istri dan ibu rumah tangga, meskipun sudah mencapai aqil baligh atau masa haid. Oleh karena itu, menikahkan anak perempuan yang masih kecil dianggap tidak maslahat dan dapat menimbulkan mafsadah (kerusakan). Pertimbangan ini juga diakui dalam madzhab Syafi’i.
Praktik menikahkan anak perempuan pada usia dini biasanya berlandaskan pada ketetapan wali mujbir, yakni wali atau orang tua yang dapat memaksa anaknya untuk menikah. Istilah ini hanya berlaku dalam madzhab Syafi’i dan sebagian Hambali, sedangkan dalam madzhab Hanafi dan Maliki tidak berlaku. Dalam madzhab Hanafi, hak-hak perempuan dalam pernikahan lebih diutamakan.
Meskipun terdapat ketetapan mengenai wali mujbir, tidak berarti bahwa orang tua dapat sembarangan memaksa anaknya untuk menikah. Dalam madzhab Syafi’i, pertimbangan maslahat-mafsadah tetap harus diperhatikan.
Di Indonesia, terdapat undang-undang yang mengatur penetapan usia nikah. Undang-undang tersebut merupakan hasil ijtihad para ulama setempat. UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menetapkan bahwa batas minimal usia perkawinan untuk perempuan adalah 16 tahun dan untuk laki-laki 19 tahun. Selain itu, ada pasal yang menyatakan bahwa pernikahan di bawah usia 21 hanya dapat dilakukan dengan syarat tertentu.
Aturan mengenai usia nikah ini juga ditegaskan dalam PP No 9 Tahun 1975 dan Instruksi Presiden No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Terlepas dari kasus Syeh Puji, penting untuk menekankan bahwa ketetapan yang berlaku di Pengadilan Agama Republik Indonesia harus dipatuhi. Para wali atau orang tua perlu memberikan kesempatan kepada anaknya untuk menyelesaikan masa kanak-kanak dengan belajar dan berinteraksi dengan teman sebaya sebelum memasuki kehidupan rumah tangga.
Lebih dari itu, wali atau orang tua juga harus bersikap toleran dan mendengarkan pendapat anak perempuan demi masa depan mereka.