Dalam memahami hadis, penting untuk merujuk pada pendapat Ibn Hajar yang mengutip Ath-Thayyibi, bahwa jika terdapat beberapa hadis dengan kekuatan yang sama, maka hadis-hadis tersebut harus dipadukan dan dihukumi sebagai satu kesatuan. Dengan cara ini, kemutlakan sebuah hadis dapat dipahami lebih baik dengan mempertimbangkan hadis-hadis lain yang bersifat muqayyad, yaitu yang memberikan penjelasan mengenai masalah tertentu.
Selain itu, kita perlu merangkum semua makna dalam hadis, baik yang berupa perintah, larangan, maupun pembolehan. Penting untuk membedakan tingkatan dari setiap perintah, apakah itu wajib, sunnah, atau boleh. Begitu juga dengan larangan, apakah itu haram atau makruh.
Para ulama telah merumuskan beberapa kaidah dasar untuk memahami ungkapan tertentu agar maksud hadis dapat dipahami dengan jelas. Hal ini meliputi penetapan kesyarian suatu perkara serta derajat hukumnya, mulai dari wajib, sunnah, mubah, makruh, hingga haram.
Semua hal tersebut harus dikuasai agar seseorang tidak melampaui batas dalam menentukan kewajiban yang harus dilaksanakan atau larangan yang harus dihindari. Ini juga berhubungan dengan wilayah yang dapat ditoleransi, sehingga tidak memaksakan orang lain untuk mengikutinya.
Seseorang yang benar-benar memahami masalah-masalah yang disepakati dan yang diperdebatkan, serta mengetahui semua kaidah yang telah disebutkan, tidak akan terburu-buru dalam menilai apakah suatu perbuatan halal, haram, atau bid’ah. Ia juga akan mampu melakukan kajian yang teliti dalam menyimpulkan hukum dan mengetahui apa saja yang boleh diingkari dan dihindari. Pengingkaran hanya seharusnya dilakukan terhadap mereka yang meninggalkan kewajiban atau melakukan hal-hal yang diharamkan, terutama kasus-kasus yang telah disepakati keharamannya. Masalah ijtihadiyah yang masih diperdebatkan di kalangan ulama tidak termasuk dalam kategori ini.
Pendapat yang tidak didasarkan pada pedoman pokok syariat, baik yang bersifat umum maupun khusus, dianggap tercela dan ditentang oleh syariat Islam. Sebaliknya, pendapat yang benar dan dapat diterima adalah hasil dari proses penyimpulan dan pemikiran yang berlandaskan pada teks kitab suci atau hadis. Ini termasuk ijtihad melalui qiyas berdasarkan teks tertentu yang memiliki legitimasi hukum yang bisa dipertanggungjawabkan.
Perlu dicatat bahwa perbuatan haram adalah segala sesuatu yang jelas diharamkan dalam nash kitab suci atau sunnah Nabi SAW, atau keharamannya disimpulkan berdasarkan dalil-dalil syariat tanpa pemaksaan. Sementara itu, fardhu adalah segala sesuatu yang ditentukan hukum keharusannya oleh syariat.
Adapun persoalan yang tidak dijelaskan oleh syara’ (al-maskut ‘anhu), hukumnya diserahkan kepada umat. Bahkan jika mereka salah dalam penentuan hukum, mereka akan dimaafkan, kecuali jika hukum tersebut bertentangan dengan Al-Qur’an, ijma’ ulama, atau istinbat dengan cara yang sah.
Dalam sebuah hadis dari Abu Darda’, Rasulullah SAW bersabda: “Apa-apa yang dihalalkan oleh Allah Swt dalam Kitab-Nya adalah halal, dan apa-apa yang diharamkan adalah haram. Sedangkan hukum apa-apa yang tidak disinggung diserahkan pada ijtihad masing-masing. Maka terimalah keleluasaan dari Allah, karena sesungguhnya Allah SWT tidak akan melupakan sesuatu apapun.” Kemudian beliau membacakan firman Allah SWT: “Dan Tuhanmu tidaklah pelupa.”
Hadis ini diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak dan dinyatakan shahih dari segi sanadnya oleh Adz-Dzahabi. Dalam sanad yang berbeda, Al-Baihaqi juga meriwayatkan dalam Sunan-nya, di samping beberapa riwayat lain dari para ulama.