Syariat Islam sangat memperhatikan terwujudnya kesejahteraan dan kemaslahatan umum. Oleh karena itu, prinsip ini harus menjadi acuan bagi pembangunan nasional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Perwujudan kesejahteraan dan kemaslahatan umum mengakomodasi kepentingan semua pihak tanpa memandang keyakinan, golongan, atau warna kulit serta tidak bertentangan dengan syariat Islam (Qur’an, hadits, ijma’, dan qiyas). Maslahah ‘ammah adalah kemaslahatan yang bermuara pada prinsip keadilan, kemerdekaan, dan kesetaraan manusia di depan hukum.
Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, peranan warga masyarakat, warga bangsa, dan lembaga keagamaan menjadi sangat menentukan dalam proses perumusan apa yang dimaksud dengan kemaslahatan umum. Dalam hal ini, prinsip syura sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an: wa amruhum syura bainahum (urusan mereka dimusyawarahkan di antara mereka) menjadi sangat strategis.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang latar belakang agama masyarakatnya berbeda-beda, umat Islam seharusnya mampu mengartikulasikan prinsip-prinsip kemaslahatan yang digariskan oleh ajaran agamanya dalam bahasa yang dapat diterima oleh masyarakat umum. Dengan demikian, prinsip-prinsip keagamaan yang pada mulanya dianggap bersifat terbatas bisa menjadi milik bersama dan milik masyarakat, bangsa, serta umat manusia.
Jika proses syura, di mana kemaslahatan umum ditentukan, harus melalui lembaga perwakilan, maka secara sungguh-sungguh harus diperhatikan persyaratan-persyaratan sebagai berikut:
- Orang-orang yang duduk di dalamnya benar-benar menghayati aspirasi kemaslahatan umum dari segenap rakyat yang diwakilinya, terutama lapisan dhu’afa’ dan mustadh’afin.
- Untuk mengkondisikan komitmen moral dan politik orang-orang yang duduk dalam lembaga perwakilan, perlu pola rekrutmen yang memastikan mereka datang dari rakyat dan ditunjuk oleh rakyat serta bekerja/bersuara untuk kepentingan rakyat.
- Secara struktural, lembaga perwakilan tempat persoalan bersama dimusyawarahkan dan diputuskan, harus benar-benar bebas dari pengaruh atau tekanan pihak manapun yang dapat mengganggu tegaknya prinsip kemaslahatan bagi rakyat banyak.
Kemaslahatan umum yang dituangkan dalam bentuk kebijakan atau undang-undang oleh lembaga perwakilan rakyat (majlis istisyari) merupakan acuan yang harus dipedomani oleh pemerintah sebagai pelaksana secara jujur dan konsekuen. Prinsip tasharuful imam, manutun bil maslahah harus dipahami sebagai prinsip keterikatan penguasa dalam setiap jenjang pemerintahan terhadap kemaslahatan yang telah disepakati bersama.
Tindakan penguasa terhadap rakyat harus terarah untuk mencapai kemaslahatan. Menurut Imam Syafi’i, posisi penguasa terhadap rakyat laksana kedudukan wali (pelindung) terhadap anak yatim.
Sementara itu, rakyat secara keseluruhan, dari mana kemaslahatan ditujukkan dan untuk siapa kemaslahatan harus diwujudkan, wajib memberikan dukungan positif sekaligus kontrol kritis secara berkelanjutan terhadap lembaga perwakilan sebagai perumus (legislatif), lembaga pemerintahan sebagai pelaksana (eksekutif), maupun lembaga peradilan sebagai penegak hukum (judikatif).
Dalam mewujudkan maslahah ‘ammah, harus diupayakan agar tidak menimbulkan kerugian orang lain atau sekurang-kurangnya memperkecil kerugian yang mungkin timbul, karena “upaya menghindari kerusakan harus diutamakan daripada upaya mendatangkan maslahah.”