- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Penerapan Syari’ah dalam Konteks Kehidupan Beragama

Google Search Widget

Allah Subhanahu Wata’ala menurunkan syari’ah tidak dalam wujud hukum yang siap pakai. Al-Qur’an dan Hadits menjadi sumber hukum (mashaadir syar’iyyah) yang perlu diolah untuk dijadikan hukum syari’ah. Proses ini sepenuhnya dipercayakan kepada umat (ulama) sesuai kapasitas dan kapabilitas masing-masing. Para ulama melakukan ijtihad, dan mereka yang melakukannya dikenal sebagai mujtahid.

Teks Al-Qur’an dan Hadits merupakan bagian integral dari ajaran agama. Pemahaman seseorang terhadap teks-teks tersebut tidak serta-merta menjadi bagian dari agama, kecuali dipublikasikan melalui proses yang disebut ijma’. Jika mayoritas (jumhur) ulama sepakat bahwa pemahaman tersebut bebas dari unsur kesesatan, maka pemahaman itu mendapatkan legitimasi agama dan menjadi acuan hukum.

Proses ijma’ berfungsi menyaring pemahaman dari kesesatan. Ijma’ ulama dijamin oleh agama dan terhindar dari unsur kesalahan. Oleh karena itu, ketidaktransparanan dan penolakan terhadap proses uji publik menjadi ciri-ciri aliran sesat.

Ijma’ berbeda dengan qiyas. Proses ijtihad yang dilakukan melalui analogi terhadap hukum syari’ah yang ada disebut qiyas, yaitu alasan hukum yang diambil berdasarkan perbandingan dengan hal-hal yang telah ada dalam hukum Islam.

Dengan demikian, metodologi ijtihad sebagai sumber-sumber hukum syari’ah terdiri dari empat tahapan: Al-Qur’an, Hadits, Ijma’, dan Qiyas. Keempat sumber ini menjadi pegangan utama umat Islam hingga kini.

Beberapa hikmah dari pelimpahan wewenang untuk ber-ijtihad kepada umat adalah: 1) Hukum syari’ah tidak melampaui batas kemampuan umat, karena umat sendiri yang memprosesnya. 2) Meningkatkan motivasi untuk belajar, sehingga umat menjadi lebih cerdas dan paham. 3) Perbedaan pendapat di kalangan ulama menghasilkan berbagai alternatif hukum dalam masalah yang sama, melahirkan beberapa madzhab; hingga kini ada empat madzhab yang diakui: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali.

Dalam kitab-kitab perbandingan madzhab, para ulama tidak menggunakan kalimat seperti “Pendapat ini benar, sedangkan pendapat yang itu salah.” Melainkan, mereka cenderung menggunakan ungkapan: “Pendapat ini benar, pendapat yang itu lebih benar; Pendapat ini kuat, pendapat yang itu lemah.” Ini menunjukkan adanya toleransi terhadap perbedaan pendapat dan menghindari klaim kebenaran mutlak atas pendapat diri.

Umat awam yang tidak terlibat dalam proses pembentukan hukum syari’ah memiliki hak untuk berijtihad memilih madzhab yang sesuai dengan nurani, nalar, dan kondisi mereka, tanpa adanya unsur pemaksaan.

Kebebasan berijtihad ini terlihat dalam kenyataan: Madzhab Syafi’i dianggap cocok di daerah tropis seperti Indonesia, Malaysia, dan Brunei, sedangkan madzhab Hanafi dan Hambali lebih diterima di negara-negara subtropis seperti India, Pakistan, serta Timur Tengah. Madzhab Maliki berkembang di daerah dekat kutub seperti Andalus dan Afrika Utara.

Umat juga diberi wewenang untuk ber-ijtihad dalam penerapan hukum syari’ah. Mereka melakukannya melalui berbagai cara: sebagian melalui formalisasi agama; sebagian lainnya melalui jalur politik; dan sebagian lagi melalui jalur kultur budaya religi, yaitu penerapan hukum syari’ah yang disesuaikan dengan kondisi umat.

Hukum syari’ah dalam batas tertentu masih bersifat teoritis-idealis. Hal ini karena finalisasi tidak terletak pada konsep saja, tetapi pada kondisi penerapannya. Dengan demikian, hukum syari’ah bersifat kondisional dan fleksibel.

Sesuatu yang wajib menurut hukum syari’ah dapat berubah jika pelaksanaannya terhalang oleh faktor-faktor tertentu, baik ekonomi maupun kesehatan. Misalnya, ibadah haji yang merupakan rukun Islam dapat dianggap tidak wajib bagi seseorang yang terkendala oleh kondisi ekonomi atau kesehatan.

Finalisasi atau penentu utama dalam pelaksanaan hukum syari’ah adalah kemampuan dan kondisi umat yang menjadi sasaran hukum tersebut. Kemampuan ini tertuang dalam ilmu Usul Fiqih dengan al-ahkaam al-wadf’iyah, yaitu faktor-faktor sebab, syarat, dan kendala. Oleh karena itu, penerapan hukum syari’ah harus sejalan dengan kebijakan agama melalui pengondisian umat yang dalam sosiologi disebut jalur kultur-budaya-religi. Dalam pengondisian ini, Allah SWT memerintahkan umat untuk menghindari segala sesuatu yang menyulitkan: “Kami tidak menurunkan Al-Qur’an ini kepadamu agar kamu menjadi susah.”

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

November 22

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?