Bagi banyak orang, ibadah haji bukan sekadar kewajiban, melainkan juga cita-cita umat Islam. Keinginan untuk melaksanakan haji di tanah suci sangat mendalam dan tak tergantikan oleh apapun. Ibadah ini memiliki nilai spiritual dan kemanusiaan yang luar biasa. Salah satu metode yang digunakan untuk mewujudkan keinginan ini adalah sistem arisan. Dalam sistem ini, sekelompok orang mengumpulkan sejumlah uang secara rutin setiap bulan. Setiap tahunnya, uang yang terkumpul diserahkan kepada salah satu anggota untuk berhaji, dan pada tahun berikutnya giliran anggota lainnya.
Namun, muncul pertanyaan mengenai kedudukan haji yang dilaksanakan dengan cara ini, terutama ketika ongkos naik haji (ONH) berubah-ubah dan biaya yang dikeluarkan setiap orang tidak sama. Masalah pertama yang perlu diperhatikan adalah syarat adanya “istitho’ah” atau kemampuan dalam menjalankan ibadah haji. Menurut pandangan syariah, seorang Muslim diwajibkan untuk melaksanakan ibadah haji hanya jika ia telah memenuhi syarat kemampuan. Lalu, bagaimana dengan mereka yang berusaha berhaji meskipun tidak berkemampuan?
Bahtsul masail diniyah waqiiyyah pada Muktamar ke-28 Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak Yogyakarta pada tahun 1989 menyatakan bahwa haji yang dilakukan oleh orang yang belum memenuhi syarat istitha’ah tetap sah. Hal ini dipertegas dalam sebuah kutipan yang menyatakan bahwa siapa saja yang belum memenuhi syarat istitha’ah tidak wajib berhaji, tetapi jika ia melakukannya, maka tetap diperbolehkan. Ini sama halnya dengan orang yang fakir; ia tetap sah melakukan ibadah haji selama ia termasuk dalam kategori mukallaf.
Praktik haji arisan juga pernah dibahas dalam muktamar tersebut, di mana terdapat contoh kelompok wanita di Irak yang mengumpulkan uang dan memberikannya secara bergantian hingga giliran terakhir. Praktik ini diperbolehkan oleh penguasa Irak saat itu. Pertanyaan selanjutnya berkaitan dengan fluktuasi ongkos haji. Para musyawirin memperhitungkan ongkos naik haji (ONH) sebagai pinjaman barang (al-iqradl). Dalam pinjam-meminjam secara syar’i, seseorang memberikan hak milik dengan mengganti barang yang dipinjam dengan barang yang sama.
Ketika ONH mengalami kenaikan, setoran arisan bisa disesuaikan berdasarkan kesepakatan anggota. Alternatif lainnya adalah menjaga setoran tetap seperti semula, tetapi penjadwalan keberangkatan salah satu anggota ditunda hingga uang arisan mencukupi. Dengan cara ini, jumlah uang yang dikeluarkan setiap anggota dapat berbeda-beda. Jika ONH dianggap sebagai pinjaman dan salah satu anggota yang telah berhaji meninggal dunia, setoran haji menjadi tanggungan ahli warisnya hingga semua anggota arisan dapat diberangkatkan haji.