- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Zakat dalam Bentuk Uang: Persoalan Hukum dan Pertimbangan

Google Search Widget

Membayar zakat dengan harta atau uang merupakan persoalan hukum Islam yang sering diperdebatkan di antara berbagai mazhab. Terdapat beberapa pendapat terkait hal ini:

  1. Pendapat yang Mengizinkan Zakat dalam Bentuk Uang
    Beberapa ulama, termasuk Al-Imam Abu Hanifah dan Al-Imam Auza’i, berpendapat bahwa zakat boleh diberikan dalam bentuk uang untuk setiap jenis zakat. Para Imam mazhab Hanafi seperti As-Sarkhasi dan Al-Kasaniy juga mendukung pandangan ini, menjelaskan bahwa zakat tidak harus dalam bentuk barang, tetapi bisa berupa nilai harga dari barang tersebut.
  2. Pendapat yang Tidak Mengizinkan Zakat dalam Bentuk Uang
    Di sisi lain, Al-Imam Malik berpendapat bahwa memberikan zakat dalam bentuk uang tidak diperbolehkan, meskipun boleh menggantinya dengan benda lain yang sejenis. Mazhab Malik menekankan pentingnya memberikan zakat sesuai dengan jenisnya, seperti mengganti zakat perak dengan emas atau sebaliknya.
  3. Pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i dan Sebagian Mazhabnya
    Al-Imam Asy-Syafi’i berpendapat bahwa zakat tidak boleh diberikan dalam bentuk uang untuk semua jenis zakat. Beberapa Imam dalam mazhabnya, seperti Asy-Syairazi dan Ibn Syaraf An-Nawawi, juga mengemukakan pandangan yang sama. Namun, ada sebagian ulama Syafi’i yang memperbolehkan zakat berupa uang dalam kondisi tertentu.
  4. Pendapat Al-Imam Ahmad ibn Hanbal
    Menurut Al-Imam Ahmad ibn Hanbal, zakat hanya boleh diberikan dalam bentuk uang untuk zakat perdagangan. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan pandangan di kalangan mazhab mengenai jenis zakat yang dapat diberikan.

Metodologi ijtihad terkait zakat dalam bentuk uang mencakup dua teori utama:

  1. Teori Ma’na An-Nash
    Teori ini mengizinkan memberikan zakat dalam bentuk uang dengan memahami bahwa perintah untuk memberikan benda sebagai zakat juga mencakup nilai harga dari benda tersebut. Tujuan utama zakat adalah untuk membantu kebutuhan orang-orang yang kurang mampu.
  2. Teori ‘Ain An-Nash
    Teori ini menekankan bahwa zakat harus diberikan dalam bentuk benda sesuai dengan nash yang ada, tanpa mengalihkan kepada nilai uang. Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa perintah untuk memberikan zakat adalah spesifik terhadap jenis barang tertentu.

Kedua teori ini memiliki sudut pandang yang berbeda namun tetap mengacu pada prinsip pemahaman yang sah terhadap nash atau teks. Dalam konteks Indonesia saat ini, terdapat pertimbangan kuat untuk membolehkan memberikan zakat berupa uang. Hal ini dikarenakan memberikan zakat dalam bentuk uang lebih bermanfaat dan fleksibel sesuai dengan kebutuhan para penerima zakat.

Memberikan zakat berupa barang tertentu dapat berakibat pada berkurangnya manfaat bagi penerima zakat, terutama ketika barang tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan mereka. Misalnya, seorang pedagang material bangunan yang diwajibkan memberikan zakat berupa bahan-bahan bangunan seperti semen atau pasir, mungkin tidak akan bermanfaat bagi penerima zakat yang memiliki kebutuhan berbeda.

Dalam situasi tertentu, seperti ibnus sabil yang membutuhkan makanan selama perjalanan, memberikan bahan makanan pokok seperti beras mungkin tidak praktis. Sebaliknya, jika diberikan dalam bentuk makanan siap saji seperti kurma, hal ini akan lebih memudahkan penerima.

Dengan demikian, memberikan zakat dalam bentuk uang dapat lebih sesuai dengan maqshad asy-syari’ah (tujuan hukum Islam), yaitu memenuhi kebutuhan para penerima zakat secara lebih efektif dan efisien.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

February 5

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?