Sebagian orang menganggap terjadinya gerhana matahari dan bulan sebagai fenomena alam yang biasa, serta peristiwa ilmiah yang dapat dipahami. Gerhana hanya menjadi tontonan menarik yang dapat disaksikan secara beramai-ramai bersama keluarga dan teman-teman. Namun, bagi mereka yang menyadari keagungan Sang Pencipta, Allah SWT, gerhana adalah peristiwa penting yang menunjukkan adanya kekuatan Yang Maha Agung di luar batas kemampuan manusia, bahkan bagi mereka yang merasa paling memahami ilmu alam sekalipun. Orang-orang yang merasa rendah di hadapan Sang Pencipta akan menadahkan muka, menghadap Allah, dan melaksanakan shalat berjamaah. Rasulullah SAW telah memberikan petunjuk terkait hal ini.
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya matahari dan rembulan adalah dua tanda-tanda kekuasaan Allah, maka apabila kalian melihat gerhana, maka berdo’alah kepada Allah, lalu sholatlah sehingga hilang dari kalian gelap, dan bersedekahlah.” (HR Bukhari-Muslim)
Sayyidatuna A’isyah ra bercerita bahwa gerhana matahari pernah terjadi di masa Rasulullah SAW. Beliau pun melaksanakan shalat bersama para sahabat. Dalam shalat tersebut, beliau berdiri dan ruku’ dengan lama, melakukan gerakan tersebut dengan berbagai variasi waktu. Setelah selesai, matahari pun telah muncul kembali. (HR Bukhari, Muslim, Nasa’i, Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Para ulama sepakat bahwa shalat gerhana matahari dan bulan adalah sunnah yang dilakukan secara berjamaah. Berdasarkan hadits yang pertama, penamaan shalat untuk gerhana bulan adalah khusuf, sedangkan untuk gerhana matahari adalah kusuf. Imam Maliki dan Syafi’i berpendapat bahwa shalat gerhana dilakukan sebanyak dua rakaat dengan dua kali ruku’, berbeda dengan shalat Id dan Jum’at. Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas juga menjelaskan hal serupa, yaitu shalat gerhana dikerjakan dua rakaat dengan dua kali ruku’. Abu Umar menyebutkan bahwa hadits tersebut dinilai paling shahih.
Keistimewaan shalat gerhana dibandingkan dengan shalat sunnah lainnya terletak pada jumlah ruku’ pada setiap raka’atnya. Selain itu, dalam setiap ruku’ disunnahkan membaca tasbih berulang-ulang dan berlama-lama.
سُبْحَانِ رَبِّيَ الْعَظِيْمِ وَبِحَمْدِهِ
Tasbih mencerminkan gerak dinamis seperti saat bulan berotasi dan berevolusi mengelilingi bumi, bumi berotasi dan berevolusi mengelilingi matahari, atau saat matahari berotasi dan berevolusi pada pusat galaksi Bimasakti. Namun, saat terjadi gerhana, ada proses yang berbeda dalam rotasi dan revolusi itu. Oleh karena itu, bertasbihlah! Maha Suci Allah, Yang Maha Agung!
Berikut adalah tata cara shalat gerhana:
- Memastikan terjadinya gerhana bulan atau matahari terlebih dahulu.
- Shalat gerhana dilakukan saat gerhana sedang berlangsung.
- Sebelum shalat, jamaah dapat diingatkan dengan ungkapan “Ash-shalatu jaami’ah.”
- Niat melakukan shalat gerhana matahari (kusufisy-syams) atau gerhana bulan (khusufil-qamar), baik sebagai imam maupun ma’mum. أُصَلِّيْ سُنَّةً لِكُسُوْفِ الشَّمْسِ / لِخُسُوْفِ الْقَمَرِ اِمَامًا / مَأْمُوْمًا لِلّهِ تَعَالَى
- Shalat gerhana dilakukan sebanyak dua rakaat.
- Setiap rakaat terdiri dari dua kali ruku’ dan dua kali sujud.
- Setelah ruku’ pertama dari setiap rakaat, membaca Al-Fatihah dan surat lainnya.
- Pada rakaat pertama, bacaan surat pertama lebih panjang daripada surat kedua; demikian pula pada rakaat kedua. Misalnya, pada rakaat pertama membaca surat Yasin (36) dan ar-Rahman (55), lalu pada rakaat kedua membaca al-Waqiah (56) dan al-Mulk (78).
- Setelah shalat disunahkan untuk berkhutbah.