Keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama mengenai Masail Diniyah Waqiiyyah di Pondok Pesantren Qomarul Huda, Bagu, Priggarata, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, pada 16-20 Rajab 1418 H/17-20 November 1997 M, menyoroti isu penting terkait pembebasan tanah milik rakyat. Saat ini, banyak terjadi pembebasan tanah oleh pemerintah atau swasta yang didukung pemerintah, baik untuk kepentingan umum maupun untuk tujuan bisnis, seperti pembangunan kawasan perumahan. Seringkali, ganti rugi yang ditawarkan tidak sebanding dengan nilai tanah yang hilang, sehingga rakyat menolak. Namun, dalam banyak kasus, rakyat akhirnya terpaksa menyerahkan tanahnya dengan ganti rugi yang tidak memadai dan berpindah entah ke mana.
Munas memutuskan bahwa pembebasan tanah dengan harga yang tidak memadai dan tanpa kesepakatan dari kedua belah pihak tergolong perbuatan zalim. Hal tersebut termasuk dalam kategori bai’ul mukrah, yang hukumnya haram dan tidak sah. Mengutip kitab I’anatut Thalibin Juz III, halaman 9, dinyatakan bahwa “Tidak sah akad transaksi yang dilakukan oleh seseorang yang dipaksakan dalam hatinya tanpa hak, karena tidak ada kerelaan darinya.” Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT dalam An-Nisa (4): 29: “…dan janganlah anda saling memakan harta sesama kalian sendiri dengan cara yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kalian.”
Namun, apabila pembebasan tanah dilakukan oleh pemerintah untuk kepentingan umum yang dibenarkan menurut syara’, maka hukumnya boleh meskipun tanpa kesepakatan, dengan syarat harga yang ditawarkan memadai. Apabila seseorang terpaksa menjual tanahnya demi tujuan baik dan halal seperti membangun masjid, jalan umum, atau pekuburan, maka transaksi tersebut sah menurut hukum.
Contoh sejarah menunjukkan ketika Sayyidina Umar bin Khattab ra. diangkat sebagai khalifah kedua dan jumlah penduduk semakin banyak, ia memperluas masjid dengan membeli rumah-rumah di sekitarnya dan merobohkannya. Ia juga memperluas masjid dengan merobohkan bangunan milik penduduk yang enggan menjualnya, dengan memberikan harga tertentu agar mereka mau menerima tawarannya.
Aspek “kepentingan umum” atau maslahah menjadi inti dalam setiap kebijakan pemerintah, sesuai dengan kaidah fikih bahwa tindakan penguasa terhadap rakyatnya harus berkaitan dengan kepentingan umum. Pemaksaan dalam konteks yang benar adalah sah karena melaksanakan kerelaan syara’ (kebenaran) itu setara dengan kerelaan pemilik tanah tersebut.